Category Archives: Renungan

15 Falsafah Luhur Jawa

Ilustrasi (foto :bramardianto.com)
Ilustrasi (foto :bramardianto.com)
Salah satu uniknya negara kita adalah adanya berbagai macam suku yang mendiaminya. Masing-masing suku mempunyai adat dan nilai-nilai yang berbeda.
Masyarakat Jawa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai dan budayanya. Bahkan meski mereka tidak lagi tinggal di tanah Jawa. Tentu sering kita mendengar masyarakat Jawa yang ada di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Malaysia bahkan hingga di Suriname yang masih menggunakan Bahasa Jawa dan masih menjunjung tinggi adat dan budaya Jawa.
 Dalam berfilosofi, orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen  (peribahasa) untuk menata hidup manusia.
 Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, “Wong Jowo sing ora njawani” atau “Wong Jowo sing ilang Jawane.”
 Filosofi Jawa dinilai sebagai hal yang kuno, ndeso dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan dan mengajarkan hidup kita agar  senantiasa “Eling lan Waspodo”.
Berikut kumpulan falsafah beserta arti penjelasannya yang menjadi pedoman hidup masyarakat Jawa :
 1. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala),
Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik, tapi sekecil apapun manfaat yang dapat kita berikan, jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat.
2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara
Maksunya Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).
3. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Artinya segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar.4. Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha
Artinya Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau keturunan, Kaya tanpa didasari kebendaan.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu.

6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Aja Kagetan, Aja Aleman
Jangan mudah terheran-heran, Jangan mudah menyesal, Jangan mudah terkejut- kejut, Jangan mudah kolokan atau manja.

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi.

8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka
Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka.

9. Aja Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo.
Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat.

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguno
Maksudnya adalah Jaga kelakuan / tatakrama, jangan sombong dengan kekuatan, kedudukan, ataupun latarbelakangmu.

11. Alon-alon waton klakon
Filosofi ini sebenarnya berisikan pesan tentang safety/keselamatan. Padahal kandungan maknanya sangat dalam. Filosofi ini mengisyaratkan tentang kehati-hatian, waspada, istiqomah, keuletan, dan yang jelas tentang safety.

12. Nerimo ing pandum.
Makna dari kata tersebut mengandung Arti yang mendalam menunjukan pada sikap Kejujuran, keiklasan, ringan dalam bekerja dan ketidakinginan untuk korupsi.
Inti filosofi ini adalah Orang harus iklas menerima hasil dari usaha yang sudah dia kerjakan.

13. Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo.
Artinya sekarang zaman edan, yang gak enda gak bakal kebagian; Hanya orang yang ingat kepada Allah yang beruntung. disini saja juga tidak cukup dan waspada terhadap duri-duri kehidupan yang setiap saat bisa datang dan menghujam kehidupan, sehingga bisa mengakibatkan musibah yang berkepanjangan.

14. Mangan ora mangan sing penting ngumpul.
Artinya Makan tidak makan yang terpenting adalah dapat berkumpul (kebersamaan).
Filosofi ini adalah sebuah peribahasa. Kalimat peribahasa tidaklah tepat kalau diartikan secara aktual. Filosofi ini sangat penting bagi kehidupan berdemokrasi. Kalau bangsa kita mendasarkan demokrasi dengan falsafah diatas saya yakin negara kita pasti akan aman, tentram dan sejahtera. Istilah “Mangan ora mangan” melambangkan eforia demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) dan yang lain pihak tidak. Yang tidak dapat apa-apa tetap legowo atau menerima dengan lapang dada.

Dan kata dari “Sing penting ngumpul” melambangkan berpegang teguh pada persatuan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama.
Filosofi dari kalimat peribahasa “Mangan ora mangan sing penting kumpul” adalah filosofi yang cocok yang bisa mendasari kehidupan demokrasi bangsa Indonesia agar tujuan bangsa ini tercapai.
15. Wong jowo iki gampang di tekuk – tekuk.
Filosofi ini juga berupa ungkapan peribahasa yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘Orang Jawa itu mudah ditekuk-tekuk’. Ungkapan ini menunjukan fleksibelitas dari orang jawa dalam kehidupan. Kemudahan bergaul dan kemampuan hidup di level manapun baik miskin, kaya, pejabat atau pesuruh sekali pun. Orang yang memegang filosofi ini akan selalu giat bekerja dan selalu ulet dalam meraih cita-citanya.
Itulah beberapa pandangan hidup, pedoman dan prinsip yang diterapkan sejak dahulu yang biasa menjadi nasehat orang jawa meskipun kini semakin luntur dimakan zaman.
Sumber : Thefilosofi.blogspot.com  

Si Jempol Pahlawan Pasar Terapung

BAGI warga luar Kalimantan Selatan (Kalsel) tentu tidak banyak yang tahu keberadaan Pasar Terapung, baik di Kuin maupun di Lokbaintan Kabupaten Banjar. Kearifan dan tradisi masyarakat Banjar saat transaksi itu kian terkenal sejak menjadi pembuka acara salah satu televisi swasta nasional. Kemasyhuran tersebut tidak terlepas dari sosok, Hj Ida (62).

Iklan RCTI Oke Versi Pasar Terapung tahun 90an (RCTI)
Iklan RCTI Oke Versi Pasar Terapung tahun 90an (RCTI)

Perempuan yang kini berusia lebih separo abad ini tinggal di Kelurahan Alalak Selatan Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin. Dia merupakan ‘pahlawan’ kemasyhuran Pasar Terapung. Dia menjadi tokoh utama iklan televisi swasta nasional yang memeragakan angkat jempol dengan lokasi pengambilan gambarnya di Pasar Terapung di era tahun 90-an. Sejak itulah Pasar Terapung yang menjadi ciri khas warga Banua saat transaksi mulai dikenal orang. Utamanya para wisatawan, baik domestik maupun dari mancanegara.

Setelah destinasi tersebut terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan, seolah peran Hj Ida dalam mengenalkan Pasar Terapung hingga masyhur seperti sekarang ini terlupakan.

Saat ini dia tinggal di sebuah rumah sederhana yang ada di kawasan Alalak Selatan bersama anak dan cucu-cucunya. Penampilannya tidak jauh berbeda saat menjalani syuting puluhan tahun silam, meskipun guratan dan keriput mewarnai wajahnya.

Saat menjalani syuting dia berusia 40-an tahun. Jukung dan kayuh menjadi teman yang paling akrab. Karena sejak usianya belasan tahun dia sudah mulai berjualan di kawasan itu untuk memenuhi keperluan hidup keluarganya. Karena masih usia 18 tahun, dia sudah menikah dengan H Bahrul yang saat ini berusia 83 tahun.
Suaminya merupakan pengusaha kayu. Dia mendapat kayu di Barito, kemudian jual di Banjarmasin. Dari usaha inilah mereka bisa berangkat haji.  Kebanyakan orang mengira, gelar haji Nenek Ida didapatkan setelah ia menjadi artis iklan di RCTI. Padahal ungkapnya, gelar hajinya itu didapat sebelum tahun 1994.

Awalnya, Hj Ida kaget kenapa ia dipilih memerankan iklan legendaris itu. Mungkin menurutnya, sebelumnya tim kreatif sudah melihat kebiasaan pagi-pagi dia mengayuh kelotok dengan membawa dagangan untuk dijual di Pasar Terapung Kuin.  “Meangkat jempol itu sampai belasan kali. Kalau tidak salah sampai 15 kali. Itu saja mau diulang lagi. Ku bilang sudah muyak ampih (bosan, red),” pungkasnya.
Hasil dari syuting itu, ia mendapatkan honor Rp 40 ribu. Jumlah tersebut termasuk lumayan untuk ukuran masa itu. Ia pun langsung membeli satu sarung dan sejadah untuk kenang-kenangan hasil dari jadi “artis” tersebut.

Dirinya pun bangga wajahnya sering menghiasi layar kaca televisi hingga 2002. Setelah kenangan manis itu berlalu, namanya kembali muncul ketika kegiatannya sehari-hari setelah menjadi ‘artis’ itu disorot media masa.  Akhirnya, Hj Ida diundang ke Jakarta untuk mendapatkan penghargaan dari salah satu stasiun televisi nasional tersebut sebagai tanda jasa dalam keikutsertaannya mengenalkan budaya masyarakat Banua tersebut. Bahkan penghargaan tersebut dipajang di ruang tamu. Selain mendapatkan penghargaan, dia juga mendapatkan uang tunai Rp 14 juta yang digunakan untuk membelikan sepeda motor anak bungsunya yang sekolah di Kompleks Pendidikan Mulawarman Banjarmasin.

Setelah momen emas itu dia punya banyak kenalan. Bahkan sejumlah artis papan atas, seperti Agnes Monica dan lainnya di Jakarta pernah berfoto dengannya.
Masa-masa keemasan itu pun sempat memudar. Ia kehilangan koneksi seiring dengan vakumnya iklan itu. Dia pun terkenang masa sulit ketika memerlukan bantuan. Termasuk saat menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Saat ini, anak yang diperjuangkannya itu menjadi Kepala Bagian Keuangan di sebuah perusahaan Banjarmasin. Memang ungkapnya, delapan anak yang dia lahirkan semuanya cerdas. Terbukti di kelas selalu mendapat rangking I, II dan III.

Hj. Ida Sekarang - 2015 (pesiarcitymag)
Hj. Ida Sekarang – 2015 (pesiarcitymag)

Kini Hj Ida hanya menikmati masa tuanya bersama anak dan cucu-cucunya. Dia sudah ‘pensiun’ jualan di Pasar Terapung Kuin sekitar lima tahun lalu dan memilih jualan di kios yang ada di rumahnya.  Ia berjualan nasi kuning, lontong dan makanan lainnya. Ada pula kue tradisional yang dititipkan untuk dijual. Usaha tersebut untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Dia pun mengungkapkan keprihatinannya terkait kondisi Pasar Terapung saat ini yang semakin sepi. Meskipun setiap pagi ada saja warga yang jualan maupun wisatawan yang berkunjung. Namun tidak seramai dulu. (pesiarcitymag)

Menjual Banjarmasin Melalui City Branding

Patung Bekantan (Pesiarcitymag)
Patung Bekantan (Pesiarcitymag)

Berlakunya undang-undang otonomi daerah tentunya memberikan angin segar bagi pemerintah daerah untuk dapat memajukan daerahnya masing-masing dengan segala potensi yang dimilikinya. Saat ini kepala daerah berlomba-lomba menawarkan potensi daerahnya sebagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Potensi suatu daerah saat ini ibarat sebuah produk yang lazim diberi merek (brand) agar memiliki ciri yang membedakan dengan daerah lain.

Salah satu sektor yang yang sedang menjadi primadona adalah pariwisata. Kita harus bersyukur negara kita Indonesia dianugerahi keindahan alam yang memikat. Banyak daerah berlomba-lomba “menjual” keindahan alam ini.

Bahkan Indonesia melalui Kementerian Pariwisata pun menerapkan strategi city branding pada beragam destinasi untuk menggenjot kinerja sektor pariwisatanya, termasuk untuk menarik kunjungan wisatawan yang ditargetkan mencapai 20 juta wisatawan mancanegara pada 2020.

Konsep branding dalam dunia bisnis sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Oleh karena itu, banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya kepada masyarakat luas.

Begitupun dalam konsep brand pariwisata, dengan potensi penerapan otonomi daerah serta meluasnya tren globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berupaya untuk merebut pasar, khususnya para wisatawan dan investor ke daerah masing-masing. Dengan kata lain, daerah pun membutuhkan brand yang kuat.

Di level dunia, jika kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mungkin kita merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan Indonesia, negara yang notabene jauh lebih besar daripada dua negeri jiran tersebut.

Menggemaskan memang, tapi itulah kenyataannya yang terjadi. Malaysia dan Singapura lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia membranding dirinya Truly Asia, sementara Singapura menjual slogan Uniquely Asia. Sementara negara tetangga sudah lebih dulu dan gencar membranding negaranya, Indonesia melalui Kemeterian Pariwisata  membuat slogan Wonderful Indonesia. Meski belum se-ngetop Malaysia Truly Asia, tapi minimal kesadaran akan branding sudah mulai dibangun.

Di dalam negeri persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antardaerah. Sebenarnya hal itu merupakan fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih dilirik investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, lebih ramai transaksi perdagangannya dan sebagainya. Semua itu akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks itulah city branding menjadi penting.  Sayangnya  masih banyak pemimpin daerah yang belum sadar akan pentingnya city branding, terutama daerah yang kaya sumber daya mineral.

Lalu, seberapa penting city branding?

Menurut Rhenald Kasali, sejatinya city branding mencakup aspek yang sangat luas. Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan pariwisata. DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy Jakarta. Lalu, Jogjakarta dengan Jogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik, Solo mengusung The Spirit of Java dan lain sebagainya.

Padahal bukan hanya pariwisata yang bisa ’’dijual’’ daerah. Sebagai contohnya adalah Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu segar dan agrobisnisnya. Langkah itu ternyata mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya dalam bisnis peternakan sapi dan pengolahan susu serta perkebunan kiwi dan apel.

Secara definisi, City Brand adalah identitas, simbol, logo, atau merek yang melekat pada suatu daerah. City branding suatu daerah tentu harus sesuai dengan potensi dan positioning daerahnya tersebut.

Dalam konteks pariwisata  manfaat yang akan didapatkan dengan penerapan strategi City Branding tersebut, di antaranya awareness, reputasi, serta persepsi yang baik mengenai sebuah destinasi wisata. Selain itu, konsep City Branding dapat mendorong iklim investasi, maupun peningkatan kunjungan wisata destinasi wisata.

Dalam pembentukan city branding, tentu harus dikaji potensi dan faktor pendukung yang ada, dan ini harus dilakukan secara serius. Sehingga city brand yang nantinya ditetapkan benar-benar mewakili Banjarmasin, mempunyai diferensiasi dan mempunyai daya jual. Dinas terkait bisa melakukannya dengan menggunakan jasa pendamping konsultan pemasaran.

Banyak perusahaan  terkait yang bersedia mendukung city branding suatu daerah, contohnya Garuda Indonesia. Sebagai maskapai pemerintah, tentu Garuda Indonesia sangat berkompeten. Salah satunya dalam membuat jalur konektivitas suatu daerah atau tujuan wisata. Selain itu, semua potensi dan sumber daya yang ada di kota ini juga harus bahu –membahu. Contoh dalam hal infrastruktur, pasti bukan kewenangan Dinas Pariwisata.

City branding sama sekali tidak untuk menggantikan strategi pembangunan daerah. Ia hanya menjadi pelengkap. Meski begitu, city branding ibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah kota harus menjadi mimpi bersama seluruh warganya.

Itu tidak mudah. Contohnya begini. Kita dengan mudah menemukan kota yang menyebut dirinya bersih dan beriman. Tetapi dengan mudah kita menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau lagi. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.

Apanya yang beriman? Lihat saja, kekerasan yang bernuansa agama kerap terjadi di kota-kota tersebut. Berbeda sedikit saja tentang keyakinan, kekerasan mudah tersulut dan dibiarkan pula.

Keberhasilan city branding memang sangat ditentukan oleh pengertian para pemangku kepentingan di kota tersebut, bahkan seluruh warga masyarakat kota tersebut. Ini sama saja dengan sebuah perusahaan. Apabila core value sebuah perusahaan tertanam dalam jiwa semua karyawan, maka visi dan misi perusahaan dengan sendirinya lebih mudah dicapai.

Kawasan Siring Menara Pandang Banjarmasin (Dokpri)
Kawasan Siring Menara Pandang Banjarmasin (Dokpri)

Bagaimana dengan kota kita, Banjarmasin ?

Tanggal 24 September 2015 beberapa waktu yang lalu Kota Banjarmasin merayakan ulang tahunnya yang ke-489. Usia yang cukup tua untuk ukuran sebuah kota. Lebih tua dari Kota Jogja yang tahun ini baru berusia 259 tahun, jauh lebih tua dari Kota Balikpapan (118 tahun) dan bahkan lebih tua satu tahun dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta.

Memang umur tidak bisa dijadikan tolok ukur kemajuan atau kemapanan sebuah kota. Banyak kota yang berusia muda, namun lebih maju baik dari sisi infrastruktur maupun dari sisi sosial kemasyarakatan.

Sebagai ibu kota propinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin pun menggeliat dengan berbagai aktivitasnya, baik aktivitas perdagangan, pendidikan, maupun pariwisata. Khusus dalam bidang pariwisata, terlihat bagaimana kota ini terus mempercantik diri, salah satunya dengan membangun icon-icon baru. Sungai Martapura yang membelah kota juga terus dipercantik dengan menciptakan kebersihan bantaran sungai serta membangun siring. Pasar terapung sebagai salah satu icon kota juga dilakukan revitalisasi yakni dengan membuat pasar terapung buatan di siring Sungai Martapura, tepatnya di kawasan Jl. Pierre Tendean yang lebih bersahabat dengan pengunjung. Dan masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan pemerintah kota dalam hal memajukan pariwisata.

Satu hal yang hingga kini belum dimiliki kota yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa ini adalah city branding. Yang saya maksud adalah city branding yang betul-betul dibuat dan dicanangkan berdasarkan  kajian yang mendalam baik ilmu pemasaran maupun disiplin ilmu lainnya.  Satu-satunya branding yang secara organik melekat pada kota ini adalah Kota Seribu Sungai. Meski tidak menjadi tagline “jualan” resmi pemerintah kota, namun julukan ini cukup melekat dan familiar. Slogan resmi Kota Banjarmasin adalah Bungas yang merupakan akronim Bersih, Unggul, Gagah, Aman dan Serasi. Namun slogan ini pun tak lebih dari sekedar slogan, belum mendarah-daging dalam diri masyarakatnya.

Akan sangat elok apabila Banjarmasin melakukan city branding. Dengan city branding, maka Banjarmasin telah melakukan diferensiasi dibanding kota lainnya. Selanjutnya city branding ini dipromosikan melalui kegiatan promosi yang terintegrasi. Kegiatan promosi dan city branding tidaklah murah. Hal ini perlu pengkajian yang serius dari dinas maupun instansi terkait.

Banyak pro dan kontra terkait city branding ini, terlebih dalam pengeluaran biaya untuk city branding. Konon Kota Jogja harus menggelontorkan APBD sebesar 1,5 M untuk membuat branding Jogja Istimewa. Tapi apabila city branding berhasil, wisatawan banyak yang datang, maka biaya promosi tersebut akan sebanding. Apakah rugi Malaysia mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengkampanyekan Malaysia Truly Asia ? Saya kira kita sepakat bahwa sebaliknya. Malaysia menjadi terkenal dan sekarang merajai Asia Tenggara dalam hal kunjungan wisatawan asing. Oleh karena itu city branding sebuah kota akan berhasil apabila semua stake holder di kota ini benar-benar mendukung dan menghayatinya.

Tahun 2015 Kota Banjarmasin memilih kepala daerah yang baru. Secara pribadi, saya sebagai warga kota ini berharap nantinya kepala daerah yang baru berani membuat inovasi dalam memasarkan daerah ini. Salah satunya dengan konsep city branding.  Tentu bukan sekedar untuh gagah-gagahan supaya terlihat tidak ketinggalan dari kota lainnya di Indonesia, akan tetapi benar-benar bisa “menjual” kota ini sehingga bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga.

Tongkat Ali vs Pasak Bumi

Yong Peng, sebuah distrik (semacam kecamatan) yang letaknya sekitar 100 km dari pusat Kota Johor Bahru. Dalam perjalanan dari JB ke Melaka kami singgah, lebih tepatnya dipaksa singgah oleh tour guide untuk makan siang dan belanja oleh-oleh.

yong peng
Letak Distrik Yong Peng

Bas persiaran yang kami tumpangi berhenti di sebuah toko yang cukup besar, toko sekaligus pabrik (tempat produksi) pikir saya.

Toko Yoyo Kedai Produk Makanan Tempatan, begitu tulisan pada papan namanya. Begitu masuk toko, sudah tercium aroma kue-kue yang menggoda.

tripadvisorcouk
Yoyo Native Food (tripadvisor.co.uk)

Beragam tester kami coba, begitulah cara mereka menarik pembeli. Dari segi pelayanan ya kurang lebih sama denga toko cokelat di KL, mereka dengan nada teriak menjelaskan produk-produknya. Ratusan kue, snack, camilan hingga minuman macam teh tarik dijual di toko ini.

Satu yang ingin saya bahas di sini adalah tentang packaging. Hampir semua produk yang dijual di toko ini dikemas dengan cantik. Satu hal yang belum saya temukan di Indonesia, di Bali sekalipun yang notabene industri pariwisatanya terbilang paling maju untuk ukuran Indonesia.

tai yang bing dessertingbeauty blogspot
Tai Yang Bing, enak sekali tastenya (dessertingbeauty.blogspot.com)
yoyo liltinypea blogspot
Kasir Yoyo, siap menguras ringgit anda (liltinypea.blogspot.com)
yongpengtravelcom
suasana dalam toko (yongpengtravel.com)

Di sebuah sudut, terlihat bapak-bapak mengerumuni seorang pramuniaga yang dengan semangat menjelaskan sebuah produk minuman sambil membagikan tester dan brosur. Saya coba minum dan ternyata pahit, ternyata itu air rebusan tongkat ali. Saya makin penasaran dan coba nanya berape harganye mak cik ?, pakai logat melayu berharap dikasih murah wkwkwk..

Ternyata harga udah dibanderol RM100 dan didiskon 5%. Artinya saya harus bayar RM95 untuk 30 gr pasak bumi, omaigod. Oh ya, kurs waktu itu 1 Ringgit sama dengan Rp. 3.600. Jadi RM100 setara dengan Rp. 360.000,- Bayangkan, di Martapura akar pasak bumi dengan berat yang sama, mungkin harganya tak sampai Rp. 50.000. Ketika saya bilang mahal sekali mak cik, dia pun melawan, ini bisa untuk pemakaian 6 bulan katanya. Dengan perasaan dibodohin orang Malaysia, akhirnya ya sudahlah nyerah beli 1 pack. Bayar deh Rp. 342.000 (harga setelah diskon).

Oh ya, Tongkat Ali atau kita sebut pasak bumi, atau nama ilmiahnya Eurycoma Longifolia konon sudah dipatenkan oleh negara jiran kita ini. Lagi-lagi kita kalah cepat dengan mereka, tongkat ali yang kita kenal dengan akar Pasak Bumi dan banyak tumbuh di Kalimantan dan mungkin seluruh Indonesia ini sudah duluan dipatenkan Malaysia.

Saya jadi ingat di Martapura dan hampir semua toko oleh-oleh di Banjarmasin menjual pasak bumi dengan berbagai bentuk sebagai oleh-oleh khas Kalsel. Saya pernah membeli (karena penasaran aja sih) dengan bentuk gelas. Jadi tinggal kita tuang air panas dan ditunggu beberapa menit baru airnya kita minum. Sama-sama pahit rasanya, cuma kenapa harganya jauh sekali berbeda. ? Hampir 10 kali lipat bahkan.

Kira-kira ini jawaban pertanyaan saya tadi :

Tongkat ali produk Malaysia ini dari segi pengolahannya terlihat lebih higienis. Kemudian produk dikemas dengan kemasan yang menurut saya eksklusif, mirip dengan kotak jam tangan atau perhiasan lainnya. Pasak bumi di Martapura dijual bahkan tanpa kemasan, dibiarkan telanjang, kena debu atau kotoran lainnya. Saya beli akar pasak bumi berbentuk gelas dengan tutup ukuran kecil, kalo nggak salah waktu itu harganya Rp. 20.000.

Dalam kemasan Tongkat Ali juga ada label halal, isi kandungan dan berat bersihnya, pokoknya lengkap. Tentu hal ini menambah daya saing untuk semakin meyakinkan pembeli.

20150421_082913_resized
si Tongkat Ali dari Malaysia
20150421_081510_resized_1
si tongkat ali dari Martapura, tutupnya diiket tali rafia dan tanpa kemasan apapun
20150421_081458_resized
Penampakan packaging luarnya, menarik (dokpri)

Begitulah, ketika sebuah produk sudah diproduksi dengan baik, dikemas dengan menarik, harganya pun bisa berkali-kali lipat.

Sebenarnya sudah ada juga produk oleh-oleh Indonesia yang dikemas dengan baik dan menarik, macam brownies kukus Amanda, Cokelat Monggo dll. Tapi secara umum, oleh-oleh kita masih banyak yang belum terkemas dengan baik dan menarik. Nggak usah jauh-jauh, lihatnya ke Malaysia, betapa si tongkat ali ini menohok kita.

#secuil cerita dari kota kecil Yong Peng.

 

 

Balada Siput dan Katak

Ada seekor siput selalu memandang sinis terhadap katak.

Suatu hari, katak yang kehilangan kesabaran akhirnya berkata kepada siput :

“Tuan siput, apakah saya telah melakukan kesalahan, sehingga Anda begitu membenci saya?”

Siput menjawab : “Kalian kaum katak mempunyai empat kaki dan bisa melompat kesana kemari, sedangkan saya mesti membawa cangkang yang berat ini, merangkak di tanah, jadi saya merasa sangat sedih.”

Katak menjawab : “Setiap kehidupan memiliki kesulitan dan penderitaan-nya masing-masing, hanya saja kamu cuma melihat kegembiraan saya, tetapi kamu tidak melihat penderitaan kami.”

Dan seketika itu, ada seekor elang besar yang terbang ke arah mereka, siput dengan cepat memasukkan badannya ke dalam cangkang, sedangkan katak dimangsa oleh elang.

Akhirnya siput baru sadar…ternyata cangkang yang dimilikinya bukan merupakan suatu beban…tetapi adalah kelebihannya.

Pesan cerita : Nikmatilah kehidupanmu, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Keirian hati kita terhadap orang lain akan membawa lebih banyak penderitaan.

Semangattttttttttt,,….do the Best

Betapa bodohnya negeri ini

Dulu waktu SMP, saat pelajaran PMP selalu diajarkan Modal Dasar Pembangunan Nasional :

1. Posisi Bangsa

Negara kita terletak diantara 2 benua yaitu Asia dan Australia, dan diantara 2 samudera yaitu samudra Indonesia (Hindia) dan Samudra Pasific. Tapi apa ya benar kita bisa memanfaatkan posisi strategis itu. Bukankah Singapura yang selama ini jauh lebih pandai memanfaatkan posisi itu.

2. Kekayaan Alam

Kekayaan alam kita yang melimpah ruah dari ujung Barat sampai ujung Timur, justru membuat kita terlena. Kita jauh dari kata bisa memanfaatkan. Yang ada hanyalah dipergunakan sekelompok orang untuk mengeksploitasinya atau menjualnya ke negara lain. Sementara penduduk Indonesia hanya gigit jari karena royaltynya hanya dinikmati sekelompok orang. Kita tetap saja miskin.

3. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang besar juga merupakan modal dasar pembangunan nasional. Apa iya ? Bukankah sekarang ini penduduk kita hanya menjadi jajahan produk-produk asing. Sepeda motor, mobil, handphone, susu dan hampir semua kebutuhan kita menggunakan produk-produk asing. Apa untungnya penduduk besar kalo cuma jadi lahan buat negara lain untuk mengeruk kekayaan.

Oooo…. kita ini terlena, dinina-bobokan oleh kata-kata manis yang tertuang dalam GBHN. Tapi sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya. Betapa bodohnya negeri ini. ..

Tuhan tahu lebih apa yang kita pikirkan

Ada seorang Pria yang buta huruf bekerja sebagai penjaga sekolah. Sudah ± 20 tahun dia bekerja disana. Suatu hari kepala sekolah itu digantikan dan menerapkan aturan baru. Semua pekerja harus bisa membaca dan menulis maka penjaga yang buta huruf itu, terpaksa tidak bisa bekerja lagi.

Awalnya, dia sangat sedih. Dia tidak berani langsung pulang ke rumah dan memberitahukan istrinya. Dia berjalan pelan menelusuri jalanan. Tiba² muncullah ide untuk membuka kios di jalanan itu. Tidak disangka, usahanya sukses, dari satu kios sampai jadi beberapa kios. Kini dia jadi seorang Pengusaha yang sukses dan kaya. Suatu hari, dia pergi ke bank untuk membuka rekening, namun karena buta huruf, dia tidak bisa mengisi formulir dan karyawan Bank yang membantunya.

Karyawan Bank berkata, : “Wah, Bapak buta huruf saja bisa punya uang sebanyak ini, apalagi kalau bisa membaca dan menulis, pasti lebih kaya lagi.”

Dengan tersenyum dia berkata, : “Kalau saya bisa membaca dan menulis, saya pasti masih menjadi penjaga sekolah.”

Apa yang merupakan musibah, bisa saja BERKAH. “Dibalik masalah, Pasti ada Berkat…? Jadi sikapilah dengan SABAR & BIJAK … Lakukah bagian kita secara maksimal dan biarlah TUHAN melakukan bagianNYA… Sekalipun seolah² tiada pertolongan dan jalan keluar dalam masalah dan Pergumulan hidup kita. MENGALIRLAH SEPERTI AIR dan JANGAN BERONTAK MENYALAHKAN TUHAN. Karena manusia hanya mengetahui apa yang di depan mata, Tetapi TUHAN MENGETAHUI JAUH KEDEPAN TENTANG RENCANA YANG INDAH BAGI MEREKA YANG MENGASIHI DIA.

sumber : harjonoswanopati

Sebuah renungan…”TOPLES, BOLA GOLF, KORAL, PASIR, & DUA CANGKIR KOPI….”

Sahabat…
Saat 24 jam sehari masih terasa kurang, kita sudah sangat sibuk sekali, simak dan renungkan kisah ini.

Seorang professor berdiri di depan kelas filsafat … Tanpa mengucapkan sepatah kata, dia mengambil toples kosong mayones yang besar dan mulai mengisi dengan bola-bola golf.
Lalu dia bertanya pada muridnya, apakah toples itu sudah penuh? Mereka setuju.

Kemudian dia mengambil sekotak batu koral dan menuangkannya ke dalam toples. Dia mengguncang dengan ringan. Batu-batu koral masuk, mengisi tempat yang kosong di antara bola-bola golf.
Dia kembali bertanya, apakah toples itu sudah penuh? Mereka mengangguk.

Selanjutnya profesor mengambil sekotak pasir dan menebarkan ke dalam toples … Tentu saja pasir itu menutup segala sesuatunya. Toples terlihat sdh penuh. Profesor kemudian menuangkan dua cangkir kopi ke dalam toples, dan kopi tsb mengisi ruangan kosong di antara pasir. Para murid tertawa ….

“Pahami, bahwa TOPLES ini mewakili KEHIDUPAN-mu.Bola-bola golf adalah hal-hal yg penting seperti Tuhan, keluarga, anak-anak, kesehatan, dan para sahabat.
Jika semua hilang dan tanpa mereka, maka hidupmu masih tetap penuh.
Batu-batu koral adalah pekerjaan, rumah dan mobil.
Sedangkan pasir adalah hal-hal lainnya yang sepele.

Jika kalian pertama kali memasukkan pasir ke dalam toples, maka tidak akan tersisa ruangan untuk batu-batu koral ataupun bola-bola golf.. Kalian akan menghabiskan energi untuk hal-hal yang sepele.
Jadi …Beri perhatian untuk hal-hal yang KRITIS.
Bermainlah dengan anak-anakmu. Luangkan waktu untuk check up kesehatan.
Berikan perhatian terlebih dahulu pada ‘BOLA BOLA GOLF’.

Salah satu murid bertanya, “Kopi mewakili apa?”
Profesor: “Itu untuk menunjukkan bahwa sekalipun hidupmu tampak begitu penuh, masih tersedia tempat untuk secangkir kopi bersama sahabat ……

Hmmm…. sudah berapa banyak pasir memenuhi toples kita ?

# Mengutip postingan teman harjono.swanopati

Berkah “keterpaksaan”

Kalau saya harus menyebut nama, mungkin nama orang ini masuk dalam 5 orang yang akhirnya “menjerumuskan” saya ke sebuah hutan rimba bernama wirausaha. Ya, saya harus mengucapkan terima kasih kepada Sdr. M. Nur. Siapa dia ? Dia adalah seorang marketing sebuah lembaga keuangan (bank) yang dengan gigih merayu, lebih tepatnya disebut memaksa saya untuk mengambil kredit.

Kira-kira akhir 2006 saat saya masih bekerja di sebuah perusahaan consumer goods, Sdr. M. Nur  menawarkan kredit tanpa jaminan, tentu dengan bunga yang sedikit lebih tinggi. Berkali-kali saya tolak tawaran ini karena saya berpikir saya tidak memerlukan dana itu. Waktu itu dengan pertimbangan posisi saya di perusahaan yang saya tempati, saya diberi limit kredit sampai dengan 25 juta rupiah, tanpa jaminan sama sekali.

Konyol sekali apabila dana itu saya ambil tanpa perencanaan matang, atau hanya untuk konsumtif. Lalu tiap malam saya berpikir, coba menimbang-nimbang.

Suatu ketika dalam kurun waktu itu saya ikuti sebuah seminar dengan pembicara Purdi E Chandra (Bos Primagama) dan Ippho Santosa. Anda pasti tahu bukan reaksi setelah ikut seminar Pak Purdi. Ya, susah tidur, gelisah, banyak termenung dan nggak sabaran (pengin  segera) buka usaha adalah beberapa tanda kita sudah tertular virus entrepreneur.

Satu bulan berlalu, dua bulan dan akhir setelah 3 bulan akhirnya saya terpaksa ambil kredit itu. Waktu dananya cair, saya masih belum yakin mau buka usaha apa. Jujur saya tertarik pada bidang usaha kuliner, tapi jangankan memasak, merebus air aja gosong ibaratnya … hehehe. Lalu saya coba membeli majalah franchise dan informasi peluang usaha. Selain itu saya juga rajin membuka internet untuk mencari peluang usaha yang pas. Saya melihat franschise atau pola kemitraanlah yang cocok dengan kondisi saya. Pertama saya masih berstatus sebagai seorang karyawan, yang kedua saya tidak bisa masak. Jadi saya memerlukan jenis usaha yang bisa disambi dan SOPnya jelas, siapapun bisa menjalankannya.

Setelah memilah dan memilih, akhirnya alternative sudah mengerucut menjadi 2 pilihan. Pertama tela aneka rasa dan yang kedua kebab. Pertimbangan kenapa saya memilih usaha kebab akan saya ceritakan dalam tulisan yang lain. Singkat cerita akhirnya bermodalkan uang pinjaman dari bank, saya memilih untuk membuka usaha kebab  dan bertahan hingga sekarang. Dari mulai satu outlet pada tahun 2007 akhirnya sekarang alhamdulillah menjadi 5 outlet.

Liang Anggang, 12 Desember 2011

Wahyu Suparno Putro – Dale Collin Smith

Puasa membawanya kepada HIDAYAH ISLAM.

Entah mengapa saya selalu terharu jika membaca kisah-kisah mu’alaf. Seandainya saya terlahir bukan dari keluarga muslim, apakah saya akan menemukan hidayah ?

Kisah ini saya kutip dari Swaramuslim.com, semoga bisa menginspirasi saudara-saudara kita yang lain.

Hidayah datang lewat berbagai cara. Seperti yang dialami oleh komedian bule Wahyu Suparno Putro Dale Collin Smith. Pria berdarah Scotlandia namun berkewarganegaraan Australia ini mengaku memeluk Islam lantaran ingin mengerjakan Salat Tarawih setelah ikut berpuasa Ramadan. Berikut kisahnya.

Tahun 1994 saya bekerja di Jogjakarta. Waktu itu saya dikontrak oleh sebuah penerbangan swasta di Indonesia, di bagian manajemen. Saat itu saya belum berkecimpung di dunia seni peran seperti sekarang ini. Kala itu saya beragama Budha. Dalam ajaran Budha kita diharuskan untuk belajar bertoleransi. Selama di Jogjakarta saya banyak bertemu dengan orang-orang yang beragama Islam. Saya kadang suka ikutan puasa bersama mereka saat Ramadan tiba. Alhamdulillah saya puasa full lho selama Bulan Ramadan itu.

Senang bisa puasa dan berbuka puasa bersama-sama mereka. Hanya saja saya merasa ada sedikit yang kurang dalam melaksanakan semua itu. Karena saya tidak bisa menjalani Salat Maghrib dan Salat Tarawih bersama teman-teman saya itu. Apa yang saya kerjakan terhenti begitu waktu berbuka puasa tiba. Hal itu berlangsung sampai tiga tahun lamanya.

Bangun Subuh
Selain itu, saya juga mengalami kejadian yang terbilang berbeda pula. Setiap hari saya selalu terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Itu terjadi setiap hari tanpa terkecuali. Peristiwa itu akhirnya saya tanyakan kepada bapak angkat saya. Kebetulan ketika saya mulai tinggal di Jogja, saya bertemu dengan seorang bapak yang akhirnya saya anggap seperti ayah sendiri. Jadi kalau saya ada apa-apa biasanya bertanya kepadanya.

Waktu itu dia menyarankan saya untuk menanyakan hal itu kepada seorang ustadz yang biasa dipanggil Pak Haji, yang tinggal di belakang rumah saya. Saat itu Pak Haji bilang kalau kita terbiasa bangun subuh tanpa memakai jam beker, berarti malaikat mulai dekat dengan kita. Sehingga kita suka terbangun ketika subuh tiba. Dari situlah saya akhirnya mulai banyak belajar tentang Islam.

Lebih Tenang
imageSaya belajar Al Quran dari Pak Haji. Setelah saya merasa benar-benar mantap, akhirnya saya masuk Islam. Bukan berarti dalam agama Budha saya tidak merasa tenang, tetapi saya merasakan kalau ajaran Budha lebih mirip prinsip hidup daripada agama. Sementara Islam mengajari hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Jadi inilah yang membuat saya merasa cocok dan merasakan adanya ketenangan setelah mempelajari Islam.

Kalau ditanya, kenapa saya beragama Budha bukannya Kristen. Itu mungkin disebabkan karena saya lebih tertarik dengan Budha. Kebetulan kedua orang tua saya tidak beragama. Mereka menyerahkan urusan agama kepada saya, mana yang saya rasa cocok ya silakan dipeluk. Dulu sewaktu saya berumur sekitar sepuluh tahunan, di sekolah saya banyak mendapatkan cerita tentang Gandhi. Beliau pribadi yang penuh kasih. Dan saya memang menyukai pribadi orang yang seperti itu. Saya tipe orang yang tidak bisa menyakiti orang. Saya tidak menyukai peperangan dan memukul orang. Waktu itu saya berpikir misi Budha cocok untuk saya. Makanya saya pilih Budha (Nyambung nggak ya sama Gandhi ? – amanah).

Tapi selama itu saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam jiwa saya. Dan sekarang saya sudah dewasa dan jauh lebih matang. Jadi melihat segala sesuatunya tidak serba hitam putih saja. Namun ada sisi yang lain. Saya tidak langsung menurut dan terpengaruh atas apa yang saya baca. Saya melakukan sesuatu aras panggilan jiwa bukan hitam putih lagi.

Masuk Islam
imageSaya masuk Islam sekitar tahun 1999 di Jogjakarta, di sebuah mushola di belakang rumah saya. Sewaktu saya berikrar masuk Islam, saya sempat ditanya mengapa saya masuk Islam. Saya jelaskan kalau itu panggilan jiwa saya. Mereke bertanya seperti itu karena di sana baru saja terjadi suatu peristiwa, di mana terdapat suau kelompok orang yang masuk Islam, tapi belakangan diketahui dia masuk Islam dengan tujuan untuk merusak Islam dari dalam. Mereka bertanya apakah apakah saya termasuk kelompok itu. Ya saya jawab bukan, karena saya juga baru mendengar ada kejadian sepert itu untuk pertama kalinya. Saya katakan saya masuk Islam dari hati nurani. Sewaktu saya membaca shahadat saya terharu sekali, sampai menitikkan air mata. Saya merasa seperti ada yang menyentuh kepala saya.

Saya diberi nama muslim Wahyu oleh ayah angkat saya. Waktu itu saya meminta untuk tidak diberi nama Muhammad, karena hampir semua orang bule yang masuk Islam namanya Muhammad. Saya ingin berbeda. Saya juga mencantumkan nama bapak angkat saya Suparno di belakang nama Wahyu, untuk menghormati beliau.

Kebetulan kedua orang tua saya sudah meninggal dunia semua. Jadi saya sudah menganggap beliau seperti orang tua saya sendiri. Mereka tinggal di Jogjakarta saat ini. Setiap lebaran tiba, saya pasti merayakannya bersama mereka. Kini keinginan saya hanya satu, ingin bisa memberangkatkan haji keduanya. Setelah keduanya bisa berhaji, barulah saya mempersiapkan diri untuk berhaji.

Diambil dari kumpulan kisah mualaf tabloid Nurani, yang diterbitkan ke dalam buku Hidayah Allah untuk Para Pendeta, JP Books, Surabaya, Maret 2007.