Sungguh ironis ketika kita selalu membangga-banggakan negara kita adalah negara yang indah, kaya budaya, penuh keramahan, tapi hanya bisa mendatangkan 9,4 juta wisatawan mancanegara (wisman) dalam tahun 2014. Kalah dibanding tetangga kita Singapura 11,8 juta dan Malaysia 27,4 juta. Malaysia bahkan menduduki peringkat pertama diantara negara ASEAN lainnya, sudah menyalip Thailand yang hanya 24,7 juta yang kini berada pada urutan ke-2. Ya, suka tidak suka kita harus menerima kenyataan bahwa turis asing lebih memilih datang ke Malaysia, Thailand dan Singapura daripada ke Indonesia. (Data : Wikipedia)
Pencapaian Malaysia tentu tidak diperoleh dengan serta-merta. Banyak hal yang telah mereka lakukan dari mulai menciptakan ikon-ikon baru semisal Twin Tower Petronas, Genting Highland, hingga kampanye promosi wisatanya yang sangat gencar. Kampanye Malaysia Truly Asia, meski diprotes beberapa negara Asia lainnya, toh tidak menggoyahkan mereka untuk terus melaju. Sungguh menyakitkan memang, orang Eropa lebih mengenal Malaysia dan Singapura dibanding Indonesia secara luasan wilayahnya jauh lebih besar. Bahkan ada perbandingan yang lebih menyakitkan , yakni total wisman yang datang ke Indonesia tahun 2013 adalah 8,8 jt, kalah dengan jumlah wisman yang mengunjungi Pulau Phuket, satu pulau di Thailand. Tahun 2013 wisman yang berkunjung ke Phuket 9,5 jt.
Kampanye pariwisata memang tidak murah, bahkan boleh dibilang mahal. Kementerian Pariwisata Indonesia mentargetkan 20 juta wisman mengunjungi Indonesia tahun 2020 nanti. Kelihatannya jumlah yang sangat besar, akan tetapi jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand, mereka sudah beberapa tahun mencapai jumlah di atas 20 juta wisatawan. Kita bahkan baru mencanangkan target 20 juta untuk 5 tahun ke depan.
Target 20 juta wisman tentu memerlukan kerja keras dan kerja sama. Kerja sama yang dimaksud adalah kerja sama dengan faktor-faktor yang berada di luar kendali kementerian semisal infrastruktur, konektivitas penerbangan dan kesiapan daerah. Dalam bidang promosi, salah satu inovasi yang bisa dilakukan adalah mempromosikan Indonesia melalui olah raga, dan olah raga yang paling populer di dunia adalah sepakbola. Meski hal ini bukan murni inovasi, bahkan bisa dibilang mencontoh, namun rasanya masih layak untuk dilakukan.
Sepak bola saat ini telah menjelma menjadi industri dengan perputaran uang yang luar biasa besar. Transfer dan gaji pemain yang fantastis, nilai kontrak sponsor yang besar, belum lagi kontrak siaran langsung televisi, pun sebanding dengan jumlah penonton yang sudah melewati batasan negara. Maka tidak heran banyak merek yang berlomba-lomba mempromosikan produknya melalui sepakbola, yakni menjadi sponsor klub-klub besar Eropa agar bisa memasang logonya di jersey mereka. Samsung pernah hinggap di dada pemain Chelsea, hingga akhirnya digantikan Yokohama Tyre, Fly Emirates di Arsenal, PSG dan AC Milan, Standard Chartered di Liverpool, Pirelli di Inter Milan, Qatar Airways di Barcelona, Etihad Airways di Manchester City hingga Chevrolet di Manchester United.
Jika kita perhatikan, tidak hanya merek produk yang nampang di jersey klub sepak bola. Di dada jersey dua klub Spanyol, Sevilla dan Atletico Madrid terpampang tulisan “Visit Malaysia” dan “Azerbaijan Land of Fire”. Juga klub Cardiff City di Divisi Championship Liga Primer Inggris. Malaysia dan Azerbaijan tentu bukan produk elektronik, maskapai penerbangan, ban maupun minuman berenergi. Sebagaimana kita ketahui, keduanya adalah nama negara.
Adanya nama Malaysia dan Azerbaijan di jersey dua klub Spanyol itu merupakan hasil kerja dewan (ataupun kementerian) pariwisata masing-masing negara. Tentu ada dana yang digelontorkan untuk bisa melakukannya. Tidak diketahui secara pasti nilai sponsorship Malaysia, tapi umumnya besaran dana itu ada pada kisaran jutaan dolar Amerika. Sementara kabarnya Azerbaijan melalui Dewan Pariwisata Azerbaijan sedikitnya mengeluarkan 12 juta euro untuk menjadi sponsor Atletico Madrid musim 2013/2014.
Langkah Malaysia terbilang cukup menarik. Selain mungkin karena ikatan emosional antara Malaysia dengan Inggris, yakni karena Malaysia merupakan anggota negara persemakmuran. Kita bisa saksikan, selain brand Malaysia yang muncul di klub Cardiff City, beberapa perusahaan yang identik dengan Malaysia juga aktif melakukan promosi melalui sepakbola. Air Asia yang notabene milik pengusaha Malaysia Tony Fernandes dan identik dengan Malaysia tentunya dengan gagah bertengger di jersey klub Queen Park Rangers (QPR). Tidak mengherankan karena memang QPR juga milik Tony Fernandes. Malaysia Airlines pun pernah menjalin kerja sama dengan QPR pada musim 2011/2012 dengan memasang logo maskapai di jersey home. Belum lagi Genting Casino yang juga pernah hinggap di dada para pemain Aston Villa. Jadi tidak mengherankan saat kita menonton siaran pertandingan Liga Primer, banyak sekali bersliweran brand-brand negara tetangga tersebut. Dapat dimaklumi jika brand awareness Malaysia jauh lebih kuat daripada Indonesia.
Potensi menjual merek lewat sepak bola sangatlah besar. Pertandingan sepakbola liga-liga Eropa ini disaksikan jutaan pasang mata di seluruh penjuru dunia, pernak-pernik merchandise-nya pun tersebar sampai ke sudut-sudut paling terpencil, baik itu merchandise resmi maupun bajakan. Indonesia sebenarnya bisa saja meniru langkah Azerbaijan dan Malaysia dalam rangka mencapai target wisman pada 2020 tersebut. Dengan disaksikan jutaan pasang mata saat pertandingan, tentu ini akan menjadi promosi efektif untuk meningkatkan brand awaress. Orang Eropa tahu Bali, tapi tidak dengan Indonesia.
Secercah harapan muncul ketika Garuda Indonesia, maskapai plat merah melakukan kerja sama dengan Liverpool, sebuah klub besar di Liga Inggris. Memang prestasi Liverpool sedang menurun, akan tetapi jumlah pendukung Liverpool di seluruh dunia sangatlah besar dan ini yang dibaca oleh manajemen Garuda Indonesia. Meski masih “malu-malu”, kita sudah bisa melihat Logo Garuda Indonesia di jersey latihan dan pemain cadangan Liverpool. Di A-board (papan reklame) elektronik pinggir lapangan pun secara periodik menayangkan iklan Garuda Indonesia.
Disamping pemasangan logo dan nama pada papan reklame, kerjasama sponsorship juga dilakukan dengan menjadikan Garuda Indonesia sebagai maskapai penerbangan resmi untuk tur pra-musim Liverpool FC ke kawasan Asia, terutama pada rute penerbangan yang telah dioperasikan oleh Garuda Indonesia seperti ke Indonesia, Malaysia, Singapore, Thailand, Jepang, China, Korea, Hong Kong dan Taiwan.
Tujuan dari kerjasama tersebut bagi Garuda Indonesia adalah sebagai strategi untuk meningkatkan brand awareness Garuda Indonesia di Benua Eropa. Ya, meski belum menjadi sponsor besar di Liverpool sehingga berhak tampil di jersey utama, paling tidak dengan berseliweran merek atau kata Indonesia di stadion dan layar kaca, nama Indonesia pasti akan makin dikenal.
Semoga langkah Garuda Indonesia menjalin kerja sama dengan klub Liverpool dapat diikuti oleh Kementerian Pariwisata Indonesia sehingga Indonesia segera dikenal dan menjadi tujuan kunjungan wisatawan Eropa sesuai harapan kita, sehingga target wisman yang telah dicanangkan bisa tercapai lebih cepat.
Sumber :
Rappler.com
Detik.com
Wikipedia