Explore Bantul … (Mangan enak cara mBantul 1)

Menyebut kata mBantul (Bantul) pasti identik dengan ndeso, mblusuk. Tidak  usah malu, toh memang demikian adanya. Tapi ditengah kendesoannya, mBantul menyimpan eksotisme kuliner yang luar biasa. Tak salah jika anda pun harus meluangkan waktu untuk mengekplorenya.

Kesempatan libur Lebaran tahun ini (Juli 2015) pun kami manfaatkan untuk mengesplore lagi2 kuliner khas mBantul yang jos gandhos itu. Setelah beberapa bulan lalu kami menikmati Bakmi Mbah Mo yang legendaris serta Sate Klathak Pak Pong yang uenak, kali ini yang masuk dalam catatan warung yang harus dikunjungi adalah Mangut Lele Bu Is, Ayam Goreng Mbah cemplung, Mie Lethek Bantul dan Mides khas Pundong Bantul.

Satu-satu mari kita telusuri 🙂

  • Mangut Lele Bu Is

Mungkin tak banyak yang tahu jenis makanan apa itu Mangut Lele. Tapi bagi yang pernah tinggal di Jogja pasti tak asing lagi dengan jenis makanan ini.

Salah satu warung mangut lele yang recommended ya Mangut Lele Bu Is. Letaknya di Jalan Imogiri Barat km 12, tepatnya disebelah Utara perempatan Jetis, Bantul. Kalau anda dari arah Kota Jogja maka warungnya berada di kiri jalan. Warungnya sederhana, catnya serba hijau, bisa lesehatan di dalam atau pakai kursi di luar, tinggal pilih sesuai selera. Tempat parkir cukup luas karena ada tanah kosong di samping rumah. Warung ini buka dari jam 8 pagi sampai dengans etengah 8 malam.

IMG-20150726-WA000
Mangut Lele Bu Is (IG Alinarostya)
IMG-20150726-WA001
Nyam-nyam… (dokpri)
Versi Lengkapnya (gudeg.net)
Versi Lengkapnya (gudeg.net)

Konon, Warung Makan Mangut Lele Bu Is sudah berdiri sejak tahun 1978-an dengan menempati rumah yang sederhana, seperti rumah yang di pedesaan pada umumnya. Kemudian pada tahun 2006, usaha ini dikelola oleh putranya yang bernama Bapak Iswandi bersama istrinya. Sedangkan Ibu Is sendiri sekarang sudah meninggal. Seperti halnya daerah Bantul lainnya, Warung Makan Mangut Lele Bu Is ini juga tak luput dari gempa besar Mei 2006.

Setelah renovasi, warung makan ini segera buka kembali dengan kondisi rumah lebih kokoh dan rapi seperti sekarang ini.

Sesuai dengan namanya, menu andalan di rumah makan ini yaitu mangut lele. Penyajian mangut lelenya cukup khas, mungkin tidak akan kita jumpai di tempat lain. Mangut lelenya disajikan di dalam satu baskom ukuran sedang dan jumlahnya sesuai dengan orang yang datang. Sebakul nasi putih dan beberapa jenis sayuran segar atau rebus. Ada sepiring taoge rebus, sepiring bayam dan kenikir rebus, sepiring mentimun, dan sepiring irisan sayur segar yang terdiri dari daun pepaya dan daun lempuyang/ luntas serta beberapa tangkai daun kemangi.

Selain itu, juga ada oseng lombok ijo (hati-hati, kami sempat tertipu karena kami kira kacang panjang hehe), sepiring bumbu urap dan satu cobek sambal terasi berwarna hitam pekat. Semuanya bisa dinikmati sepuasnya, kalaupun ingin menambah juga diperbolehkan.

Mangut lelenya enak dengan kuah santan sedang, tidak terlalu kental atau terlalu cair dan sedikit agak pedas.  Kombinasi mangut lele dengan sayuran2 tadi benar-benar menciptakan kenikmatan yang tidak kami dapatkan di tempat kami tinggal sekarang. Itulah kenapa kami selelu kangen dengan makanan ndeso khas Bantul ini.

Masalah harga, tak usah ditanya. Kantong anda tidak akan jebol dan yang pasti malah akan terkejut, kenapa begitu murah. Itulah Bantul. Daerah ndeso yang selalu ngangeni.

Kita lanjutkan petualangan ala ndeso selanjutnya, yaitu Ayam Goreng Mbah Cemplung.

Si Jempol Pahlawan Pasar Terapung

BAGI warga luar Kalimantan Selatan (Kalsel) tentu tidak banyak yang tahu keberadaan Pasar Terapung, baik di Kuin maupun di Lokbaintan Kabupaten Banjar. Kearifan dan tradisi masyarakat Banjar saat transaksi itu kian terkenal sejak menjadi pembuka acara salah satu televisi swasta nasional. Kemasyhuran tersebut tidak terlepas dari sosok, Hj Ida (62).

Iklan RCTI Oke Versi Pasar Terapung tahun 90an (RCTI)
Iklan RCTI Oke Versi Pasar Terapung tahun 90an (RCTI)

Perempuan yang kini berusia lebih separo abad ini tinggal di Kelurahan Alalak Selatan Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin. Dia merupakan ‘pahlawan’ kemasyhuran Pasar Terapung. Dia menjadi tokoh utama iklan televisi swasta nasional yang memeragakan angkat jempol dengan lokasi pengambilan gambarnya di Pasar Terapung di era tahun 90-an. Sejak itulah Pasar Terapung yang menjadi ciri khas warga Banua saat transaksi mulai dikenal orang. Utamanya para wisatawan, baik domestik maupun dari mancanegara.

Setelah destinasi tersebut terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan, seolah peran Hj Ida dalam mengenalkan Pasar Terapung hingga masyhur seperti sekarang ini terlupakan.

Saat ini dia tinggal di sebuah rumah sederhana yang ada di kawasan Alalak Selatan bersama anak dan cucu-cucunya. Penampilannya tidak jauh berbeda saat menjalani syuting puluhan tahun silam, meskipun guratan dan keriput mewarnai wajahnya.

Saat menjalani syuting dia berusia 40-an tahun. Jukung dan kayuh menjadi teman yang paling akrab. Karena sejak usianya belasan tahun dia sudah mulai berjualan di kawasan itu untuk memenuhi keperluan hidup keluarganya. Karena masih usia 18 tahun, dia sudah menikah dengan H Bahrul yang saat ini berusia 83 tahun.
Suaminya merupakan pengusaha kayu. Dia mendapat kayu di Barito, kemudian jual di Banjarmasin. Dari usaha inilah mereka bisa berangkat haji.  Kebanyakan orang mengira, gelar haji Nenek Ida didapatkan setelah ia menjadi artis iklan di RCTI. Padahal ungkapnya, gelar hajinya itu didapat sebelum tahun 1994.

Awalnya, Hj Ida kaget kenapa ia dipilih memerankan iklan legendaris itu. Mungkin menurutnya, sebelumnya tim kreatif sudah melihat kebiasaan pagi-pagi dia mengayuh kelotok dengan membawa dagangan untuk dijual di Pasar Terapung Kuin.  “Meangkat jempol itu sampai belasan kali. Kalau tidak salah sampai 15 kali. Itu saja mau diulang lagi. Ku bilang sudah muyak ampih (bosan, red),” pungkasnya.
Hasil dari syuting itu, ia mendapatkan honor Rp 40 ribu. Jumlah tersebut termasuk lumayan untuk ukuran masa itu. Ia pun langsung membeli satu sarung dan sejadah untuk kenang-kenangan hasil dari jadi “artis” tersebut.

Dirinya pun bangga wajahnya sering menghiasi layar kaca televisi hingga 2002. Setelah kenangan manis itu berlalu, namanya kembali muncul ketika kegiatannya sehari-hari setelah menjadi ‘artis’ itu disorot media masa.  Akhirnya, Hj Ida diundang ke Jakarta untuk mendapatkan penghargaan dari salah satu stasiun televisi nasional tersebut sebagai tanda jasa dalam keikutsertaannya mengenalkan budaya masyarakat Banua tersebut. Bahkan penghargaan tersebut dipajang di ruang tamu. Selain mendapatkan penghargaan, dia juga mendapatkan uang tunai Rp 14 juta yang digunakan untuk membelikan sepeda motor anak bungsunya yang sekolah di Kompleks Pendidikan Mulawarman Banjarmasin.

Setelah momen emas itu dia punya banyak kenalan. Bahkan sejumlah artis papan atas, seperti Agnes Monica dan lainnya di Jakarta pernah berfoto dengannya.
Masa-masa keemasan itu pun sempat memudar. Ia kehilangan koneksi seiring dengan vakumnya iklan itu. Dia pun terkenang masa sulit ketika memerlukan bantuan. Termasuk saat menguliahkan anaknya ke perguruan tinggi.

Saat ini, anak yang diperjuangkannya itu menjadi Kepala Bagian Keuangan di sebuah perusahaan Banjarmasin. Memang ungkapnya, delapan anak yang dia lahirkan semuanya cerdas. Terbukti di kelas selalu mendapat rangking I, II dan III.

Hj. Ida Sekarang - 2015 (pesiarcitymag)
Hj. Ida Sekarang – 2015 (pesiarcitymag)

Kini Hj Ida hanya menikmati masa tuanya bersama anak dan cucu-cucunya. Dia sudah ‘pensiun’ jualan di Pasar Terapung Kuin sekitar lima tahun lalu dan memilih jualan di kios yang ada di rumahnya.  Ia berjualan nasi kuning, lontong dan makanan lainnya. Ada pula kue tradisional yang dititipkan untuk dijual. Usaha tersebut untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Dia pun mengungkapkan keprihatinannya terkait kondisi Pasar Terapung saat ini yang semakin sepi. Meskipun setiap pagi ada saja warga yang jualan maupun wisatawan yang berkunjung. Namun tidak seramai dulu. (pesiarcitymag)

Menjual Banjarmasin Melalui City Branding

Patung Bekantan (Pesiarcitymag)
Patung Bekantan (Pesiarcitymag)

Berlakunya undang-undang otonomi daerah tentunya memberikan angin segar bagi pemerintah daerah untuk dapat memajukan daerahnya masing-masing dengan segala potensi yang dimilikinya. Saat ini kepala daerah berlomba-lomba menawarkan potensi daerahnya sebagai upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam rangka mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Potensi suatu daerah saat ini ibarat sebuah produk yang lazim diberi merek (brand) agar memiliki ciri yang membedakan dengan daerah lain.

Salah satu sektor yang yang sedang menjadi primadona adalah pariwisata. Kita harus bersyukur negara kita Indonesia dianugerahi keindahan alam yang memikat. Banyak daerah berlomba-lomba “menjual” keindahan alam ini.

Bahkan Indonesia melalui Kementerian Pariwisata pun menerapkan strategi city branding pada beragam destinasi untuk menggenjot kinerja sektor pariwisatanya, termasuk untuk menarik kunjungan wisatawan yang ditargetkan mencapai 20 juta wisatawan mancanegara pada 2020.

Konsep branding dalam dunia bisnis sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Oleh karena itu, banyak perusahaan mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk dapat mempromosikan brand-nya kepada masyarakat luas.

Begitupun dalam konsep brand pariwisata, dengan potensi penerapan otonomi daerah serta meluasnya tren globalisasi saat ini, daerah pun harus saling berupaya untuk merebut pasar, khususnya para wisatawan dan investor ke daerah masing-masing. Dengan kata lain, daerah pun membutuhkan brand yang kuat.

Di level dunia, jika kita bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mungkin kita merasa jengkel karena orang-orang di sana mengenal Bali, tetapi tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bahkan, yang lebih menjengkelkan, mereka ternyata lebih tahu tentang Malaysia atau Singapura, tetapi tidak kenal dengan Indonesia, negara yang notabene jauh lebih besar daripada dua negeri jiran tersebut.

Menggemaskan memang, tapi itulah kenyataannya yang terjadi. Malaysia dan Singapura lebih dulu sadar akan pentingnya pencitraan atau branding. Malaysia membranding dirinya Truly Asia, sementara Singapura menjual slogan Uniquely Asia. Sementara negara tetangga sudah lebih dulu dan gencar membranding negaranya, Indonesia melalui Kemeterian Pariwisata  membuat slogan Wonderful Indonesia. Meski belum se-ngetop Malaysia Truly Asia, tapi minimal kesadaran akan branding sudah mulai dibangun.

Di dalam negeri persaingan terjadi bukan hanya antarpebisnis, tapi juga antardaerah. Sebenarnya hal itu merupakan fenomena yang menggembirakan. Setiap daerah berlomba-lomba ingin lebih dikenal, lebih dilirik investor, lebih mampu menyediakan lapangan kerja yang berkualitas, lebih ramai transaksi perdagangannya dan sebagainya. Semua itu akan membuat uang yang datang dan beredar di daerah lebih banyak. Dalam konteks itulah city branding menjadi penting.  Sayangnya  masih banyak pemimpin daerah yang belum sadar akan pentingnya city branding, terutama daerah yang kaya sumber daya mineral.

Lalu, seberapa penting city branding?

Menurut Rhenald Kasali, sejatinya city branding mencakup aspek yang sangat luas. Sayangnya, kalau melihat slogan atau tagline city branding-nya, tampaknya lebih banyak terfokus pada kegiatan pariwisata. DKI Jakarta mengusung slogan Enjoy Jakarta. Lalu, Jogjakarta dengan Jogja Istimewa. Pekalongan men-branding diri sebagai Kota Batik, Solo mengusung The Spirit of Java dan lain sebagainya.

Padahal bukan hanya pariwisata yang bisa ’’dijual’’ daerah. Sebagai contohnya adalah Selandia Baru. Mereka membangun citra negaranya dengan produk susu segar dan agrobisnisnya. Langkah itu ternyata mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya dalam bisnis peternakan sapi dan pengolahan susu serta perkebunan kiwi dan apel.

Secara definisi, City Brand adalah identitas, simbol, logo, atau merek yang melekat pada suatu daerah. City branding suatu daerah tentu harus sesuai dengan potensi dan positioning daerahnya tersebut.

Dalam konteks pariwisata  manfaat yang akan didapatkan dengan penerapan strategi City Branding tersebut, di antaranya awareness, reputasi, serta persepsi yang baik mengenai sebuah destinasi wisata. Selain itu, konsep City Branding dapat mendorong iklim investasi, maupun peningkatan kunjungan wisata destinasi wisata.

Dalam pembentukan city branding, tentu harus dikaji potensi dan faktor pendukung yang ada, dan ini harus dilakukan secara serius. Sehingga city brand yang nantinya ditetapkan benar-benar mewakili Banjarmasin, mempunyai diferensiasi dan mempunyai daya jual. Dinas terkait bisa melakukannya dengan menggunakan jasa pendamping konsultan pemasaran.

Banyak perusahaan  terkait yang bersedia mendukung city branding suatu daerah, contohnya Garuda Indonesia. Sebagai maskapai pemerintah, tentu Garuda Indonesia sangat berkompeten. Salah satunya dalam membuat jalur konektivitas suatu daerah atau tujuan wisata. Selain itu, semua potensi dan sumber daya yang ada di kota ini juga harus bahu –membahu. Contoh dalam hal infrastruktur, pasti bukan kewenangan Dinas Pariwisata.

City branding sama sekali tidak untuk menggantikan strategi pembangunan daerah. Ia hanya menjadi pelengkap. Meski begitu, city branding ibarat brand promise. Ia juga janji. Jadi, harus ditepati. Karena itu, slogan sebuah kota harus menjadi mimpi bersama seluruh warganya.

Itu tidak mudah. Contohnya begini. Kita dengan mudah menemukan kota yang menyebut dirinya bersih dan beriman. Tetapi dengan mudah kita menemukan timbunan sampah di berbagai sudut. Sampah itu basah dan berbau lagi. Artinya, sudah berhari-hari tidak diangkat.

Apanya yang beriman? Lihat saja, kekerasan yang bernuansa agama kerap terjadi di kota-kota tersebut. Berbeda sedikit saja tentang keyakinan, kekerasan mudah tersulut dan dibiarkan pula.

Keberhasilan city branding memang sangat ditentukan oleh pengertian para pemangku kepentingan di kota tersebut, bahkan seluruh warga masyarakat kota tersebut. Ini sama saja dengan sebuah perusahaan. Apabila core value sebuah perusahaan tertanam dalam jiwa semua karyawan, maka visi dan misi perusahaan dengan sendirinya lebih mudah dicapai.

Kawasan Siring Menara Pandang Banjarmasin (Dokpri)
Kawasan Siring Menara Pandang Banjarmasin (Dokpri)

Bagaimana dengan kota kita, Banjarmasin ?

Tanggal 24 September 2015 beberapa waktu yang lalu Kota Banjarmasin merayakan ulang tahunnya yang ke-489. Usia yang cukup tua untuk ukuran sebuah kota. Lebih tua dari Kota Jogja yang tahun ini baru berusia 259 tahun, jauh lebih tua dari Kota Balikpapan (118 tahun) dan bahkan lebih tua satu tahun dari Ibukota Republik Indonesia, Jakarta.

Memang umur tidak bisa dijadikan tolok ukur kemajuan atau kemapanan sebuah kota. Banyak kota yang berusia muda, namun lebih maju baik dari sisi infrastruktur maupun dari sisi sosial kemasyarakatan.

Sebagai ibu kota propinsi Kalimantan Selatan, Kota Banjarmasin pun menggeliat dengan berbagai aktivitasnya, baik aktivitas perdagangan, pendidikan, maupun pariwisata. Khusus dalam bidang pariwisata, terlihat bagaimana kota ini terus mempercantik diri, salah satunya dengan membangun icon-icon baru. Sungai Martapura yang membelah kota juga terus dipercantik dengan menciptakan kebersihan bantaran sungai serta membangun siring. Pasar terapung sebagai salah satu icon kota juga dilakukan revitalisasi yakni dengan membuat pasar terapung buatan di siring Sungai Martapura, tepatnya di kawasan Jl. Pierre Tendean yang lebih bersahabat dengan pengunjung. Dan masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan pemerintah kota dalam hal memajukan pariwisata.

Satu hal yang hingga kini belum dimiliki kota yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa ini adalah city branding. Yang saya maksud adalah city branding yang betul-betul dibuat dan dicanangkan berdasarkan  kajian yang mendalam baik ilmu pemasaran maupun disiplin ilmu lainnya.  Satu-satunya branding yang secara organik melekat pada kota ini adalah Kota Seribu Sungai. Meski tidak menjadi tagline “jualan” resmi pemerintah kota, namun julukan ini cukup melekat dan familiar. Slogan resmi Kota Banjarmasin adalah Bungas yang merupakan akronim Bersih, Unggul, Gagah, Aman dan Serasi. Namun slogan ini pun tak lebih dari sekedar slogan, belum mendarah-daging dalam diri masyarakatnya.

Akan sangat elok apabila Banjarmasin melakukan city branding. Dengan city branding, maka Banjarmasin telah melakukan diferensiasi dibanding kota lainnya. Selanjutnya city branding ini dipromosikan melalui kegiatan promosi yang terintegrasi. Kegiatan promosi dan city branding tidaklah murah. Hal ini perlu pengkajian yang serius dari dinas maupun instansi terkait.

Banyak pro dan kontra terkait city branding ini, terlebih dalam pengeluaran biaya untuk city branding. Konon Kota Jogja harus menggelontorkan APBD sebesar 1,5 M untuk membuat branding Jogja Istimewa. Tapi apabila city branding berhasil, wisatawan banyak yang datang, maka biaya promosi tersebut akan sebanding. Apakah rugi Malaysia mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mengkampanyekan Malaysia Truly Asia ? Saya kira kita sepakat bahwa sebaliknya. Malaysia menjadi terkenal dan sekarang merajai Asia Tenggara dalam hal kunjungan wisatawan asing. Oleh karena itu city branding sebuah kota akan berhasil apabila semua stake holder di kota ini benar-benar mendukung dan menghayatinya.

Tahun 2015 Kota Banjarmasin memilih kepala daerah yang baru. Secara pribadi, saya sebagai warga kota ini berharap nantinya kepala daerah yang baru berani membuat inovasi dalam memasarkan daerah ini. Salah satunya dengan konsep city branding.  Tentu bukan sekedar untuh gagah-gagahan supaya terlihat tidak ketinggalan dari kota lainnya di Indonesia, akan tetapi benar-benar bisa “menjual” kota ini sehingga bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga.