Tag Archives: Jogja

Explore Bantul …. (Mangan Enak Cara mBantul 2)

  • Ayam Goreng Mbah Cemplung

Maksud hati ingin makan di Ayam Goreng Mbah Cemplung di pusatnya yang berada mblusuk di Sendang Semanggi, Sembungan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Setelah melewati rute berkelok-kelok melewati Pabrik Gula Madukismo, belok kanan, belok kiri, lalu kanan lagi dan entah berapa kalibelok, akhirnya kami sampai di Warung Makan Ayam Goreng Mbah Cemplung. Tapi apa mau dikata, pengunjung di sana siang itu luar biasa membludak. Mungkin karena masih dalam suasana Lebaran sehingga jumlah orang yang mudik atau liburan ke Jogja tak terhitung lagi, tumpah ruah sampai jalanan macet.

Begitu kami masuk dan pesan sudah langsung disambut dengan jawaban “ini bakalan lama lho mas, soalnya antrian panjang, dan sudah banyak yang kecewa lalu pergi sambil ngomel, padahal sudah kami bilangin dari awal.” Lalu saya jawab, “nggih mbak matur nuwun, amargi sampun kaliren, kulo pindah mawon, hehehe.”

Karena sudah hampir jam 2 siang dan perut sudah tidak bisa diajak kompromi, akhirnya kami putuskan untuk coba di cabangnya saja. Semoga tidak antri, pikir kami.

Segera kami tancap gas memutar lewat Desa Wisata Kasongan. Oh ya, Ayam Goreng Mbah Cemplung pusat berada di jalan alternatif menuju Desa Wisata Kasongan, melewati Madukismo, jadi tidak melewati Jalan Bantul.

Cabang Ayam Goreng Mbah Cemplung letaknya di Ring Road Selatan. Dari perempatan Ring Road Dongkelan, ke arah Barat (Madukismo). Sebelum perempatan ambil lajur kiri (sepeda motor) dan pasti akan terlihat papan nama Ayam Goreng Mbah Cemplung yang cukup besar.

Ayam-Goreng-Jawa-Mbah-Cemplung-Madukismo
Papan nama petunjuk (bantulmedia.com)

Dari situ kami belok kiri masuk jalan kecil tidak beraspal. Jika Ayam Goreng Mbah Cemplung (Pusat) letaknya di tengah desa (perkampungan), maka letak Warung Makan Ayam Goreng Mbah Cemplung (Cabang) ini  berada di tengah sawah. Nuansa pedesaan langsung terasa begitu masuk ke areal parkirnya yang cukup luas. Bangunan dan ornamennya pun mencirikan daerah pedesaan khas Bantul. Seperti tempat makan yang ramai lainnya, di dinding warung pun penuh dengan iklan berbagai produk. Meski demikian, tempatnya nyaman sehingga cocok untuk makan bersama keluarga, baik keluarga kecil maupun besar.

Menu (dokpri)
Menu (dokpri)

Menu utamanya sama dengan Ayam Goreng Mbah Cemplung yang ada di pusatnya sana. Ayam Goreng Jawa dengan sambal dan lalapan serta nasi yang pulen dan wangi.

Kami cukup beruntung karena warungnya tak seramai yang di pusat. Jadi kami leluasa memilih tempat dan menu sesuai selera kami. Tak berapa lama akhirnya pesanan kami pun datang. Tanpa babibu lagi kami ‘sikat’ ayam goreng pesanan kami. Ayam goreng yang gurih dan empuk, entah memakai resep rahasia apa yang jelas rasanya lezat sekali. Pheeww….. akhirnya kesampaian juga makan di Ayam Goreng Mbah Cemplung, meski di cabangnya.

Namun jika anda tetap penasaran  dengan Ayam Goreng Mbah Cemplung yang pusatnya, berikut peta lokasinya.

Untuk tulisan selanjutnya, kita akan menikmati kuliner ndeso khas Bantul lainnya yaitu Mi Lethek.

Explore Bantul … (Mangan enak cara mBantul 1)

Menyebut kata mBantul (Bantul) pasti identik dengan ndeso, mblusuk. Tidak  usah malu, toh memang demikian adanya. Tapi ditengah kendesoannya, mBantul menyimpan eksotisme kuliner yang luar biasa. Tak salah jika anda pun harus meluangkan waktu untuk mengekplorenya.

Kesempatan libur Lebaran tahun ini (Juli 2015) pun kami manfaatkan untuk mengesplore lagi2 kuliner khas mBantul yang jos gandhos itu. Setelah beberapa bulan lalu kami menikmati Bakmi Mbah Mo yang legendaris serta Sate Klathak Pak Pong yang uenak, kali ini yang masuk dalam catatan warung yang harus dikunjungi adalah Mangut Lele Bu Is, Ayam Goreng Mbah cemplung, Mie Lethek Bantul dan Mides khas Pundong Bantul.

Satu-satu mari kita telusuri 🙂

  • Mangut Lele Bu Is

Mungkin tak banyak yang tahu jenis makanan apa itu Mangut Lele. Tapi bagi yang pernah tinggal di Jogja pasti tak asing lagi dengan jenis makanan ini.

Salah satu warung mangut lele yang recommended ya Mangut Lele Bu Is. Letaknya di Jalan Imogiri Barat km 12, tepatnya disebelah Utara perempatan Jetis, Bantul. Kalau anda dari arah Kota Jogja maka warungnya berada di kiri jalan. Warungnya sederhana, catnya serba hijau, bisa lesehatan di dalam atau pakai kursi di luar, tinggal pilih sesuai selera. Tempat parkir cukup luas karena ada tanah kosong di samping rumah. Warung ini buka dari jam 8 pagi sampai dengans etengah 8 malam.

IMG-20150726-WA000
Mangut Lele Bu Is (IG Alinarostya)
IMG-20150726-WA001
Nyam-nyam… (dokpri)
Versi Lengkapnya (gudeg.net)
Versi Lengkapnya (gudeg.net)

Konon, Warung Makan Mangut Lele Bu Is sudah berdiri sejak tahun 1978-an dengan menempati rumah yang sederhana, seperti rumah yang di pedesaan pada umumnya. Kemudian pada tahun 2006, usaha ini dikelola oleh putranya yang bernama Bapak Iswandi bersama istrinya. Sedangkan Ibu Is sendiri sekarang sudah meninggal. Seperti halnya daerah Bantul lainnya, Warung Makan Mangut Lele Bu Is ini juga tak luput dari gempa besar Mei 2006.

Setelah renovasi, warung makan ini segera buka kembali dengan kondisi rumah lebih kokoh dan rapi seperti sekarang ini.

Sesuai dengan namanya, menu andalan di rumah makan ini yaitu mangut lele. Penyajian mangut lelenya cukup khas, mungkin tidak akan kita jumpai di tempat lain. Mangut lelenya disajikan di dalam satu baskom ukuran sedang dan jumlahnya sesuai dengan orang yang datang. Sebakul nasi putih dan beberapa jenis sayuran segar atau rebus. Ada sepiring taoge rebus, sepiring bayam dan kenikir rebus, sepiring mentimun, dan sepiring irisan sayur segar yang terdiri dari daun pepaya dan daun lempuyang/ luntas serta beberapa tangkai daun kemangi.

Selain itu, juga ada oseng lombok ijo (hati-hati, kami sempat tertipu karena kami kira kacang panjang hehe), sepiring bumbu urap dan satu cobek sambal terasi berwarna hitam pekat. Semuanya bisa dinikmati sepuasnya, kalaupun ingin menambah juga diperbolehkan.

Mangut lelenya enak dengan kuah santan sedang, tidak terlalu kental atau terlalu cair dan sedikit agak pedas.  Kombinasi mangut lele dengan sayuran2 tadi benar-benar menciptakan kenikmatan yang tidak kami dapatkan di tempat kami tinggal sekarang. Itulah kenapa kami selelu kangen dengan makanan ndeso khas Bantul ini.

Masalah harga, tak usah ditanya. Kantong anda tidak akan jebol dan yang pasti malah akan terkejut, kenapa begitu murah. Itulah Bantul. Daerah ndeso yang selalu ngangeni.

Kita lanjutkan petualangan ala ndeso selanjutnya, yaitu Ayam Goreng Mbah Cemplung.

Direktori Warung Jawa di Banjarmasin (2)

Petualangan akan kita lanjutkan. Kali ini beberapa warung makan siap kita explore.

9. Wajan Anglo

TKP :  A. Yani Km 6, dari Banjarmasin tepatnya setelah gerbang batas kota, kiri jalan, seberang Bank Mitra.

Jam Buka : Maghrib – 01.30 Wita

Menu andalan : Nasi goreng, mawut, mi goreng, mi kuah, ayam krengsengan

Nama warung makannya sesuai yang tertera di spanduk adalah Warung Makan Wajan Anglo Kediri. Memang cara masaknya pake anglo, jadi nggak pake kompor. Saya baru sekali makan di situ, meski penjualnya berasal dari Jawa Timur (Kediri) tapi cita rasa masakannya agak manis, mungkin sudah disesuaikan dengan lidah Banjar, hehe. Menurut info penjualnya, jam operasionalnya hingga pkl 01.30 Wita, pas buat yang mau makan sahur wkwkkw (supper).

IMG_20150501_191509
Deket Giant Ekstra
IMG_20150501_191005
Nama Warungnya
IMG-20150501-WA007
Saya pesen nasgor mawut
IMG-20150501-WA008
Nyonyah pesen menu favorit mie goreng
IMG-20150501-WA009
Sasa pesen mie kuah

10. Soto Kwali Boyolali

TKP : Jl. S. Parman pas seberang Polda Kalsel

Menu Andalan : Soto Kwali, Garang Asem

Jam Buka : Pagi sampe bosen (wkwkkw), kata pemiliknya bos Anggoro Herianto

Warung makan ini sudah cukup lama berdiri, kalo nggak salah 8 tahunan, ya kira-kira 2007 lah. Dulu lokasinya persis di samping simpang empat S. Parman – Jl. Bali. Hingga akhirnya pindah di seberang Polda, masih di Jl. S. Parman. Menurut saya, satu-satunya kekurangan cuma tempat parkir mobil yang nggak ada, terpaksa di trotoar. Jadi pas makan sambil berdoa tidak kena tilang. Tapi gakpapa, banyak polisi makan di situ kok. Apa hubungannya coba ?

Oh ya, kalo anda penggemar soto daging sapi ala Jogja seperti Pak Marto seberang JEC atau Soto Kadipiro dan sejenisnya, maka warung soto inilah satu-satunya yang mendekati untuk Banjarmasin. Saya belum pernah nemu soto daging sapi yang rasanya mirip di Jogja, kasihan ya …

Kwali2
Semangkok soto pengusir galau
Kwali
Tempe habis, remukan pun jadi 🙂

 

11. Gudeg Jogja Bu Roemini

TKP : Komplek Beringin, Jl. A. Yani Km 3 masuk 50 meter

Jam Buka : Sore – Malam

Menu Andalan ; Gudeg, Nasi Goreng, Mie Goreng, Lauk ayam, bandeng, telur dll

Warung ini langganan saya sejak saya pertama kali menginjakkan kaki di Banjarmasin tahun 2005. Waktu itu lokasi warungnya di area PKL Jl. A Yani. Akan tetapi karena Jl. A Yani Km 3 nggak boleh lagi buat PKL, akhirnya si ibu nyari tempat baru. Tempat barunya sebenarnya kurang representatif karena merupakan gang senggol, saat makan bisa kena senggol kendaraan lewat hahaha… Tapi ya sudahlah mungkin rejeki Bu Roemini di situ.

IMG_20150613_180424
Seru, warungnya emplek-emplek di gang senggol
IMG_20150613_180259
Touch screen juga hehe….
IMG_20150613_181005
Menu favorit sejak bujangan dulu, nasi gudeg telor dadar 🙂

Konon kalo nggak salah denger, mereka perantau dari Gunung Kidul. Dan kalo nggak salah lagi, mereka sudah beranak pinak, maksudnya warungnya sudah menjadi 3, salah satunya di deket pelabuhan Trisakti.

Oh ya, jangan bayangkan gudegnya seperti di Wijilan, macam Bu Slamet atau Yu Jum yang legendaris itu. Disini gudegnya sedikit disesuaikan dengan selera Banjar hehe… Kira-kira begitu lah, masih agak basah dan nggak ada sambel kreceknya.

Khusus bulan puasa biasanya ada menu tambahan seperi brongkos, nah loh, ini menu andalan saya saat berbuka puasa dan makan sahur dulu. Wkkwkkw… Makanya saya tahu banget, maklum sudah member sejak 10 tahun lalu. Monggo silaken dicoba.

12. Depot Beruntung Jaya

TKP : Jl. Beruntung Jaya, setelah perempatan pertama, kiri jalan

Jam Buka : Pagi – Malam

Menu : Menunya buanyak banget hehe…. Ada rawon, soto ayam kampung, nasi opor, tahu telur, pecel dll

Makan siang dan makan malem merupakan saat-saat padat depot ini. Mungkin karena banyak pilihan menu sehingga nggak hanya anak remaja, tapi juga keluarga. Cukup recommended bagi yang kangen masakan ala Surabaya.

IMG_20150502_131108
Tuh Menunya

 

13. Warung Bule Jawa

TKP : Komplek Stadion Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km 5. Pas pojokan sebelah lapangan tenis. Dari A yani masuk ke arah stadion, ketemu lapangan tenis langsung belok kanan, lokasi warungnya pas paling ujung.

Jam buka : 8 pagi sampe habis. Bukanya cuma Senin – Sabtu, Minggu libur macam kerja kantoran juga hehe.

Menu : Nasi plus aneka sayur, lauk, ikan, ayam, telor dll

Saya menyebutnya warung salesman, soalnya yang makan di sini kebanyakan salesman, baik salesman yang masuk target maupun salesman galau yang nggak masuk target hahaa. Sejak 10 tahun lalu saya sudah sering makan di warung ini karena dekat dengan kantor lama saya.

IMG_20150505_125304
Tuh di pojokan warungnya
IMG_20150505_123954
Ngantri pas jam makan siang
IMG_20150505_124031
Sibuk, yang jaga sudah ganti orang
IMG_20150505_124039
Aneka sayur
IMG_20150505_124057
Nggak sadar saya foto 🙂
IMG_20150505_124220
Porsi kuli
IMG_20150505_125041
Suegerr

Meski warungnya sederhana, tapi jangan salah, artis pun pernah makan di sini.. hehhe…

IMG00582-20100712-1355
Ada Edi Brokoli, sumpah ini Edi Brokoli, beneran (taken Juli 2010)

 

Nantikan lanjutannya di Direktori Warung Jawa di Banjarmasin (3)

 

 

Sate Kambing dan Bakmi Termahal di Dunia

Kesempatan akhirnya datang, tanggal 28 Maret 2015 ada acara keluarga di Bantul. Dengan berbekal tiket dari Traveloka saya dan mantan pacar pulang ke Jogja yang Istimewa itu. Ambil penerbangan Jumat sore pkl 18.00 Wita, so nggak usah pake acara cuti. Skip skip akhirnya JT 523 mendarat mulus di Adi Sutjipto Int Airport pkl 18.15 WIB. Istirahat satu malam di kamar kenangan waktu tinggal di desa dulu :). Skip skip..

Sabtu, 28 Maret 2015 setelah acara resepsi kawinan beres, sesuai rencana kami gunakan waktu yang singkat ini untuk wiskul. Kenapa pendek, karena Minggu siang 11.20 kami harus sudah kembali ke Banjarmasin. Berangkat sebelum maghrib, kami meluncur ke Bakmi Mbah Mo yang legendaris itu. Cukup 10 menit kami udah sampai di dusun Code, Bantul. Mantan pacar baru sekali ke Bakmi Mbah Mo, saya bilang di sini melatih kesabaran. Kalo udah lapar sekali mending nggak usah ke sini. Benar saja, masih pkl 5 sore lewat sedikit sudah ada 3 mobil yang parkir di depan warungnya si mbah. Pesan teh jahe sambil menunggu pesanan mi godog dan mi goreng. Teh jahe sudah habis setengah gelas, pesanan belum datang juga, sabarrr…. Memang ini sensasinya makan di warung ini, antri karena masaknya satu-satu. Sekarang sudah ada 3 tungku untuk masak, itupun masih lama nunggunya hehe..

Penampakan Warung Bakmi Mbah Mo
Penampakan Warung Bakmi Mbah Mo
IMG_20150328_173830
Menunya
IMG_20150328_180051
Satu Porsi Bakmi Godog (Rebus)

Serombongan bapak-bapak dengan logat Sumatera akhirnya membatalkan pesanan karena nggak sabar keburu lapar katanya. Kami hanya senyum-senyum saja melihat tingkah bapak-bapak tadi.

Akhirnya setelah 40 menit berselang, tibalah pesanan kami. Makannya 10 menit, nunggu pesanannya 40 menit. Tapi apa kami kapok ? Kami sepakat menjawab TIDAAAAK. Tunggu mbah, kami akan datang lagi. Hahaha… Pancen ngangeni.

Sempetin sholat maghrib di mushola deket warung bakmi, kami muter-muter Kota Bantul. Menunggu mi ini turun ke bawah, dan siap diisi lagi dengan kuliner yang lain. Pokoknya mumpung di Jogja, banyak yang harus dirasai.

Anda yang berasal dari Jogja, pernah tinggal di Jogja, atau sekedar pernah plesiran ke kota tersebut, tentu tahu Jalan Imogiri Timur. Ya, di jalan yang menghubungkan Kota Jogja dengan Imogiri (kota kecamatan) ini merupakan pusatnya kuliner sate kambing. Masuk wilayah Kabupaten Bantul, Jalan Imogiri Timur tak ayal sekarang menjadi surganya penggila sate kambing. Berderet warung sate kambing di sepanjang jalan itu. Konon jumlahnya lebih dari 50 warung, jika anda tidak percaya silakan hitung sendiri.

Nah, destinasi berikutnya adalah sate kambing khas Bantul. Maaf saja, di Banjarmasin kami nggak pernah merasakan sate kambing seenak di Bantul.  Pilihan akhirnya jatuh ke Pak Pong yang di sebelah Timur Stadion Sultan Agung itu. Janji ketemuan dengan temen lama di tempat itu, akhirnya kami reuni kecil sambil “nglathak.”

sate-pak-pong
Warung Sate Pak Pong (bantulmedia.com)
IMG-20140124-02693
Bakar Sate
wisatahandal-Sate-Klathak-Pak-Pong-yang-Dirindukan-2
Sampe lupa motret 🙂 (wisatahandal.com)

Terakhir awal tahun 2014 saya ke warung ini, tidak berubah, tetep saja ramai. Pesen 4 porsi sate klathak. Tahu kan ? Sate klathak yang dagingnya ditusuknya nggak pake bambu melainkan pake ruji (jari-jari) sepeda. Mungkin salah satu yang membuat penjualan jari-jari sepeda di Bantul tinggi adalah untuk tusuk sate, hahaha…

Cukup 2 tusuk seporsinya. Meski miskin bumbu, cuma garam dan merica, tapi rasa dan aroma sate klathak tetap luar biasa mak nyuss. Dagingnya empuk sekali. Ditemani teh plus gula batu membuat obrolan ngalor ngidul nggak berujung. Hampir 2 jam nglathak, makannya 20 menit, selebihnya ngobrol sambil nunggu hujan reda hehe. Lepas kangen2an sama temen lama, akhirnya kami pulang dengan perut kenyang.

Sebenarnya jika Anda pengin suasana yang lebih seru, saya sarankan mencoba sate klathak Pak Bari atau Pak Jono yang di dalam pasar Wonokromo. Warung satenya di dalam pasar. Anda makan sate di los-los pasar. Seru sekali pastinya.

Sate Klatak Pak Bari, Semoga Cukup Mewakili Fotonya (arsip.tembi.net)
Mudahan Cukup Mewakili Fotonya (tembi.net)

Nah, kenapa kedua makanan tadi saya katakan termahal  di dunia, coba hitung saja.

Tiket Pesawat BDJ – JOG – BDJ untuk 2 orang 2,4 juta. Masak 2 porsi mie dan sate harganya lebih dari 2,4  juta ? Mahal bukan ? 🙂

 

Bakmi Mbah Mo, Warung Bakmi Legendaris Bantul

Biasanya orang mencari warung makan yang memberikan pelayanan cepat, tempatnya strategis, harga murah dan sebagainya. Kira-kira seperti rumus 4P dalam Teori Marketing Mix-nya Jerome McCarthy. Namun keanehan terjadi saat kita membicarakan warung makan yang satu ini. Mungkin warung ini menjadi salah satu pengecualian dari teori itu. Betapa tidak, untuk mendapatkan satu porsi bakmi godog atau goreng kita harus menempuh perjalanan yang sangat jauh (untuk ukuran sekedar mencari makan), dan kalaupun sudah sampai lokasi kita harus menunggu lama untuk dilayani.

Ya, Bakmi Mbah Mo. Nama yang sangat populer di kalangan pencinta kuliner. Sabtu pekan lalu saya berkesempatan pulang kampung ke Bantul untuk sebuah urusan. Tak lupa saya menyempatkan diri untuk sekedar menikmati lezatnya bakmi jawa yang tidak pernah saya dapatkan saat berada di Banjarmasin, tempat domisili saya sekarang.

Bakmi Mbah Mo lokasinya cukup jauh, yakni sekitar 13 km dari pusat Kota Jogja. Lokasi tepatnya di Desa Code, Bantul. Rute yang saya sarankan jika anda ingin menuju lokasi adalah melewati Jalan Parangtritis. Setelah menemui perempatan (traffic light) Manding ambil jalan ke arah barat (kanan), kemudian bertemu dengan perempatan jalan lingkar luar Bantul, ambil arah ke utara (kanan) sampai menemui Desa Code. Setelah ketemu plang Warung Bakmi Mbah Mo, anda harus belok ke kanan masuk Desa Code sekitar 100 m. Menurut pengamatan saya, cukup mudah mengikuti arah sesuai petunjuk plang. Namun apabila masih kesulitan, anda bisa bertanya ke penduduk setempat.

Menurut informasi, warung bakmi ini memulai aktivitasnya pukul 5 sore. Tepat pukul 5 lewat 20 menit sore itu saya sampai di lokasi. Saya sengaja memilih waktu lebih awal dengan harapan warung masih belum ramai sehingga saya tidak perlu antri lama. Sesampainya di lokasi, nampak sudah ada 5 mobil dengan plat nomor luar Jogja terparkir rapi di tempat parkir, ditambah beberapa sepeda motor. Nampak yang empunya warung sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya melayani pembeli. Kita dipersilakan menulis sendiri makanan dan minuman yang ingin kita pesan dalam secarik kertas yang sudah disiapkan, lalu diserahkan ke pelayan. Tak perlu bertanya menu apa saja yang tersedia, kita bisa membacanya di spanduk besar yang menempel di dinding ruangan. Sayapun menyerahkan catatan pesanan sambil bertanya, “antri pinten Pak ?” (antri berapa pak ?). “Tigo welas, mas”. Hmmm…. bakalan satu jam menunggu, pikir saya.

Tampilan Warung Bakmi Mbah Mo (Agt 2012)

Meskipun lokasinya sangat jauh, bahkan boleh dibilang mblusuk desa, bahkan konon tempatnya dulu dekat kandang sapi (pengamatan saya sekarang kandang sapi sudah tidak ada lagi hehehe), namun Warung Bakmi Mbah Mo tak pernah sepi pengunjung, dan itu hampir tiap hari. Pengunjung kebanyakan berasal dari luar kota, seperti sore itu waktu saya lihat plat mobil yang parkir . Ada plat B, H, AD, namun ada juga yang berasal dari Jogja.

Disamping tempatnya yang jauh, untuk menikmati sepiring bakmi di warung ini, anda juga harus bersiap antri. Kenapa demikian ? Karena bakmi di warung ini dimasak satu persatu dengan menggunakan api dari arang dengan tungku yang disebut anglo, jadi pasti memakan waktu lama. Tapi itulah seninya. Sore itu saya harus menunggu 45 menit untuk mendapatkan seporsi bakmi godog (menunggu antrian 13 porsi).

Makin malam warung ini semakin ramai dan atrian semakin panjang. Saya menyaksikan sendiri saat satu rombongan pengunjung datang akhirnya memilih membatalkan pesanan karena melihat nomor antrian dimana mereka harus menunggu hingga 30 porsi lagi. Saya dan pengunjung di sebelah saya yang ternyata satu keluarga asal Klaten tersenyum.

Perlu 45 menit saya menunggunya 🙂

Untuk seporsi bakmi godog dan teh tawar panas, saya cukup membayar Rp. 14.000,- Harga yang menurut saya cukup terjangkau.

Saat saya keluar dari warung, masih banyak mobil luar kota yang berdatangan. Begitulah, di sebuah sudut desa di Bantul, sebuah harmoni tercipta. Warung klangenan yang menyimpan beberapa keunikan yang tak akan anda temukan di tempat lain. Dan saya yakin jika anda sudah pernah merasakannya pasti akan ketagihan, meski harus menunggu 2 jam sekalipun hehehe. Selamat mencoba.

 

 

Nikmati Bersama Suasana Jogja….

Kira-kira begitu bunyi sepenggal lirik lagu Yogyakarta yang dipopulerkan oleh KLA Project pada awal 90-an. Lagu yang hingga sekarang tidak pernahbasi, tidak kuno apalagi termakan jaman. Ya.. Jogja begitu “ngangeni” buat siapa saja yang pernah bersinggungan dengan kota ini.

Pertengahan Mei lalu Saya kembali menginjakkan kaki di Jogja, tanah kelahiran Saya. Kepulangan Saya waktu itu cukup istimewa, pertama kalinya Saya mengajak semua keluarga (termasuk Sasa, buah hati kami yang baru 2,5 tahun). Ini juga merupakan pertama kalinya Sasa menginjakkan kaki dan menghirup nafas di Tanah Jawa. Semua begitu istimewa, hingga waktu 1 Minggu terasa begitu singkat dan terasa sangat kurang. Jogja masih tetap seperti dulu, begitu eksotis dengan ragam kehidupannya. Denyut nadi kota ini di musim liburan bagaikan menjadi magnet bagi pelancong dari seluruh antero Nusantara bahka mancanegara. Meski tidak banyak tempat yang bisa saya kunjungi karena terbatasnya waktu, tapi paling tidak semua jalan-jalan di Kota Jogja dan sekitarnya sudah cukup membangkitkan kembali nostalgia kami.

Tak lupa kami “medang” (nyruput wedang uwuh) dan makan pecel kembang turi di Kawasan Makan Raja-raja Imogiri pada pagi hari, sungguh luar biasa. Selain murah tentunya, suasana alam yang sejuk membuat nasi pecel semakin nikmat. Angetnya jahe wedang uwuh juga begitu menyegarkan. Perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Beringharjo. Perjalanan dari Imogiri ke Jogja tidaklah jauh. Sengaja saya ambil jalan memutar dengan tujuan melewati jl. Mangkubumi. Lepas Jembatan Gondolayu ke arah Barat, maka nampaklah bangunan monumental itu. Ya, Tugu Jogja. Serasa tak langkap berkunjung ke Kota Jogja tanpa mengunjungi obyek yang satu ini. Tugu ini seolah menjadi sentral kota ini. Pemandangan unik dan nyeleneh selalu identik dengan kota ini. Siang itu seorang waitress restoran cepat saji ala Italia sedang ngomel, berpromosi mencari perhatian tepat di bawah tugu. Ono-ono wae… Tugu tidak banyak berubah, hanya dibagian sekelilingnya agak naik sedikit untuk membatasi dengan jalan. Andai letak bangunan monumental ini tidak persis di tengah kota, Saya yakin tiap saat akan ada yang berfoto atau mengunjungi tugu ini. Letak tugu yang persis di tengah perempatan jalan menyebabkan akses yang susah. Biasanya saat malam hari, itu pun setelah pkl 22.00 wib baru sedikit lengang untuk bisa berfoto di bawah tugu ini. Yahh… tapi bagi saya, melihat sambil lewat di sebelahnya sudah cukup untuk mengobati kerinduan saya.

Tidak sampai 15 menit dari tugu, kami sampai di Pasar Beringharjo. Pasar yang legendaris ini tetap saja ramai, bahkan terasa makin sesak dengan kedatangan kami. Sengaja kami langsung menuju bagian Barat dimana di situ merupakan sentranya pedagang kain batik. Beberapa potong baju, kaos dan tas batik untuk sekedar buah tangan kami beli. Meski sudut-sudut pasar berubah, tapi aura nya masih sama dengan 15 atau 20 tahun lalu.

Kota Gudeg adalah sebutan lain untuk kota ini, selain kota pelajar, dan banyak lagi sebutan lainnya.  Kurang afdhol kalo tidak mencicipi makanan berbahan nangka ini. Daerah Wijilan adalah pusat penjual makanan yang satu ini. Meski di seantero Jogja kita akan sangat mudah menemukannya. Sama seperti bakpia, banyak penjual, banyak merek tinggal pilih. Kami menuju sebuah warung yang sudah menjadi trade mark nya gudeg di Jogja. Hmmm… rasanya tak berubah, pun dengan ibu tua yang masih saja setia melayani pembelinya. Betul kata Katon… ada setangkup haru dalam rindu, masih seperti dulu…

Rumah kami di kawasan Imogiri, Bantul merupakan pertengahan antara Jogja dan Pantai Parangtritis. Dulu setiap sore saya sering ke Parangtritis atau Makam Raja-raja Imogiri. Sore itu saya mengajak istri dan anak saya mengunjungi Pantai Parangtritis, kata orang pantai sakral dan penuh mistis. Sedikit kemalaman kami sampai di pantai yang ada di bagian Selatan Kabupaten Bantul ini. Tak apa lah, yang penting masih bisa menikmati angin sore, ombak pantai dan hamparan pasir lembut sepanjang pantai.

Dengan kendaraan plat AB-B, yang pastinya dari Bantul, saya sedikit nakal. Dulu kalau ingin masuk tanpa bayar melewati pos retribusi, resep jitu adalah dengan “mengedim” (menyalakan lampu) memberi tanda ke petugas penjaga. Konon tanda itu merupakan “kode” yang menyatakan bahwa kita berasal dari sekitar itu. Hehehe…. ono-ono wae. Memang kawasan pantai Parangtritis merupakan kawasan pemukiman penduduk juga.Ternyata anakku begitu senang bercanda dengan ombak, bahkan gak mau diajak pulang hingga larut malam. Angin yang makin kencang lah yang akhirnya memaksa kami untuk meninggalkan kawasan pantai selatan itu.

Aku dan Sasa
Bercanda dengan ombak

Nyruput Wedang Uwuh, Pengobat Rindu Kampung Halaman

pc300086a

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman paket dari adik saya yang ada di kampung. Setelah saya buka ternyata berisi minuman kemasan siap seduh. Sebuah jenis minuman yang langsung membawa alam pikiran saya menuju sebuah daerah nun jauh di Jogja sana. Daerah yang merupakan kampung halaman saya, tempat saya menghabiskan masa kecil hingga remaja. Kok melankolis banget ya.

Wedang Uwuh, demikian jenis minuman ini dinamakan. Kenapa namanya Wedang Uwuh dan apa istimewanya ?

Kata “uwuh” berasal dari Bahasa Jawa, yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah sampah dedaunan. Dalam perkembangannya, kata “uwuh” juga bermakna sampah secara umum, sehingga mengesankan kotor dan becek.

Nama Wedang Uwuh justru mengundang orang untuk datang, karena kesegaran dan khasiat yang ada. Kata “wedang” juga berasal dari Bahasa Jawa yang artinya adalah minuman. Sehingga Wedang Uwuh adalah minuman yang bahan bakunya dedaunan.

Bahan bakunya rempah khas Indonesia, yaitu daun dan ranting cengkeh, daun pala, daun manis jangan, kayu secang, jahe, ditambah gula batu. Macam-macam rempah itu diseduh dengan air mendidih, kemudian diseruput sedikit demi sedikit. Selain menyegarkan, minuman ini juga dipercaya bisa menghilangkan macam-macam penyakit seperti batuk, capek, masuk angin, pegal, dan kembung. Betul tidaknya anda harus membuktikannya.

Wedang Uwuh merupakan minuman khas Imogiri, sebuah kota kecil terletak di bagian Timur Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya kira-kira 17 km arah Selatan Kota Jogja. Daerah ini sudah tidak asing karena juga merupakan salah satu icon pariwisata Jogja, yaitu tempat Makam Raja-raja Kasultanan Yogya dan Kasunanan Surakarta.

Jika anda berkunjung ke Jogja, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk “nyruput” Wedang Uwuh di tempat asalnya. Untuk mencapai Imogiri tidaklah sulit, sarana transportasi sangat mendukung. Anda bisa mengendarai sepeda motor, mobil atau bahkan memakai jasa angkutan umum.

Kemasan keringDari Terminal Giwangan, ambil arah Selatan melewati depan Markas Brimob. Memasuki Jalan Imogiri, anda akan melewati deretan warung sate kambing, jumlahnya mencapai puluhan. Memang Jalan Imogiri merupakan surga bagi pencinta sate kambing. Setelah mentok di Kantor Kecamatan Imogiri, ambil arah kiri, melewati pasar,mapolsek hingga akhirnya mentok di Komplek Makam Raja-Raja di Pajimatan. Jika anda berkendara mobil, anda bisa memarkir kendaraan di tempat parkir yang cukup luas di situ. Jika anda pengin segera menikmati Wedang Uwuh, anda bisa langsung menuju warung-warung yang ada di sekitar tempat parkir (aslinya terminal, tapi kalo Hari Minggu digunakan buat tempat parkir bagi orang-2 yang ingin berolah raga di kawasan itu). Ada berderet warung disitu yang juga menyediakan makanan khas lainnya seperti pecel. Hari Minggu pagi adalah saat yang tepat untuk ke Imogiri, tapi tidak harus sih, hari apapun bisa. Untuk segelas Wedang Uwuh, anda cukup merogoh kocek Rp. 1.500,-saja, sangat murah bukan ?

Jika Anda merasa kurang, atau pengin menikmati minuman itu di rumah, atau mau buat oleh-oleh teman atau keluarga yang lain, anda bisa membeli minuman tersebut dalam kemasan kering (belum diseduh). Minuman ini dikemas dalam bungkus plastik, disana sudah ada petunjuk penyajiannya yang sangat mudah untuk dimengerti. Harga wedang uwuh kemasan Rp. 1.000,- / bungkus, kalo beli Rp. 10.000,- biasanya dikasih 11 bungkus.

Setelah diseduh
Setelah diseduh

Rasanya sudah panjang lebar saya bercerita. Kini saatnya “nyruput” Wedang Uwuh yang sudah diseduh oleh isteri saya. Hmm…. Rindu saya akan kampung halaman sedikit terobati. Ternyata saya sudah lama tidak pulang……

Kalo Sudah Kehendak-Nya…. (Maka Terjadilah)

Beberapa hari yang lalu saya mendapat SMS dari adik saya yang tinggal di Yogya. Dia memberi kabar bahwa ada tetangga saya yang meninggal dunia. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dengan kejadian ini, toh semua pasti akan dipanggil juga. Yang menjadi pikiran saya adalah, bahwa yang meninggal tsb adalah Mbah nDermo (perempuan) namanya, sudah sepuh dan sudah lama sakit bahkan tidak bisa jalan. Ingatan saya menerawang kejadian hampir 3 tahun yang lalu pada saat Gempa Yogya meluluhlantahkan desa kami, di Mojohuro, Sriharjo,kira-kira 17 km di sebelah Selatan Kota Yogya. Pada saat ini saya “diberi kesempatan” untuk menyaksikan dan mengalami sebuah kejadian yang bahkan mungkin menjadi ‘trauma’ bagi banyak orang di Bantul dan sekitarnya. Ya, 27 Mei 2006 sekitar pkl 6 pagi, gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang Bantul dan sekitarnya.

Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat, ketika itu saya sedang buang air besar di kamar mandi. Begitu terdengan suara ‘kemrosak’ disertai ambruknya dinding kamar mandi saya, seketika itu juga saya meloncat menerobos dinding yang miring dan lari keluar. Saat itu maaf, saya masih belum membasuh bekas BAB saya.

Begitu cepat dan keras goncangan gempa yang terjadi. Ternyata di luar rumah sudah ada Bapak (yang memang pada saat kejadian itu sudah berada di luar rumah) dan Simbok yang baru saja tergopoh-gopoh lari dari dapur. Ketika itu beliau sedang melakukan rutinitas pagi di dapur, menyiapkan sarapan buat kami semua.

Kami bertiga berteriak-teriah menyebut Asma Allah, berselang seling dengan memanggil nama adik saya yang ternyata belum keluar dari rumah. Sementara sebagian besar genteng rumah kami melorot semua, beberapa bagian rumah miring dan temboknya hampir roboh. Setelah gempa berhenti, Alhamdulillah adik saya keluar dengan keadaan selamat tanpa kurang suatu apapun, meski dengan rambut dan bagian tubuh yang lain penuh debu akibat menerobos reruntuhan bangunan rumah.

Setelah memastikan semua anggota keluarga kami lengkap, saya dan Bapak segera ke tetangga sebelah yang ternyata keadaannya lebih parah. Sebagian besar rumah rubuh, rata dengan tanah. Pada saat itulah saya mempunya memori dengan Mbah nDermo yang saya ceritakan di atas.

Subhanallah… orang tua, tidak bisa berjalan krn sakit, masih selamat dan tidak terlukan sedikitpun di dalam rumah yang digoncang gempa hebat. Hebatnya, rumah konstruksi kayu (jaman dulu) itu memang justri tahan gempa, tidak mengalami kerusakan parah seperti rumah batu-bata (tanpa tulang) yang kebanyakan rohoh.

Saya bersama tetangga lain (Lik Jumakir) menggotong beliau ke tempat yang lebih aman untuk menghindari gempa susulan. Setelah itu saya tidak terlalu tahu perkembangan kesehatan beliau, namun pada akhirnya beberapa hari yg lalu beliau di panggil oleh-Nya.

Innalillahi wainnailaihiirojiun…

Gallery (Cuma pake Kamera Handphone)

Rata dengan tanah (rumah tetangga)
Rata dengan tanah (rumah tetangga)
Pakdhe Dalmadi, malam setelah gempa langsung datang dari Bogor. Didepan rumah Mbah Warto
Pakdhe Dalmadi, malam setelah gempa langsung datang dari Bogor. Didepan rumah Mbah Warto
4 jam setelah gempa,pengungsi di Lapangan Sriharjo
4 jam setelah gempa,pengungsi di Lapangan Sriharjo

Sensasi “Wedang Uwuh” Khas Imogiri

Wedang Uwuh Dalam Kemasan Plastik
Wedang Uwuh Dalam Kemasan Plastik

Pulang ke Yogya, tepatnya ke Imogiri, rasanya tidak lengkap jika tidak menyempatkan “nyruput” minuman khas kota kecilku ini. Ya, wedang uwuh, sebuah minuman sederhana yang cukup diseduh dengan segelas air panas saja.

Sekilas, penampilannya emang kayak sebungkus sampah daun, makanya minuman ini disebut Wedang Uwuh.

Imogiri, tempat minuman seger ini berasal merupakan kota kecil di sebelah Selatan Kota Jogja, masuk di wilayah Kabupaten Bantul. Hari Minggu, 14 Desember 2009 pas saya pulang ke Imogiri, saya sempatkan untuk mengunjungi kembali salah satu tujuan wisata di Jogja, yaitu Makam raja-Raja Mataram di Imogiri. Dari arah Jogja, sampai di pertigaan Kantor Kecamatan Imogiri, ambil arah kiri menuju pasar. Anda akan melewati pasar yang sudah kembali menggeliat setelah pada 27 Mei 2006 lalu porak-poranda oleh gempa. Bahkan sudah ada minimarket (national chain) yang muncul di deket pasar. Wah, lama saya tidak melihat perkembangan Imogiriku. Kabarnya pasar Imogiri akan segera di pindah ke tempat yang katanya lebih “representatif” di seberang SMP 1 Imogiri, tempat dulu tahun 1988 – 1991 saya menuntut ilmu di sekolah itu. Yah, mudah-mudahan kotaku segera bisa berbenah lebih baik lagi.

Dari pasar, terus saja menuju ke Timur sampai mentok di Komplek Makam Raja-Raja di Pajimatan. Jika anda berkendara mobil, anda bisa memarkir kendaraan di tempat parkir yang cukup luas di situ. Jika anda pengin segera menikmati wedang uwuh, anda bisa langsung menuju warung-2 yang ada di sekitar tempat parkir (aslinya terminal, tapi kalo Hari Minggu digunakan buat tempat parkir bagi orang-2 yang ingin berolah raga di kawasan itu). Ada berderet warung disitu yang juga menyediakan makanan khas lainnya seperti pecel. Pokoknya sensasi Minggu Pagi anda tidak akan mengecewakan.

Minuman Sampah, itu terjemahan dalam Bahasa Indonesianya, tapi… ini BUKAN SAMPAH. Minuman ini sungguh menghangatkan badan dan yang pasti menyegarkan.

Racikan Wedang Uwuh
Racikan Wedang Uwuh

Komposisi Minuman ini terdiri dari :

1. Gula Batu

2. Daun Cengkih

3. Daun Pala

4. Jahe

5. Serutan kayu secang.

Jika Anda merasa kurang cukup, atau pengin menikmati minuman itu di rumah, atau mau buat oleh-oleh teman atau keluarga yang lain, anda bisa membeli minuman tersebut dalam kemasan kering (belum diseduh). Minuman di kemas dalam plastik, disana sudah ada petunjuk penyajiannya yang sangat mudah untuk dimengerti.

Sayapun tak melewatkan kesempatan ini, saya beli beberapa bungkus untuk saya bawa ke Banjarmasin sebagai oleh-oleh teman dan keluarga di Banjarmasin. Harganya sangat terjangkau, Rp. 1.000,- / bungkus. Kalo beli Rp. 10.000,- kadang dikasih 11 bungkus.

Jika anda langsung minum di tempat, maka anda akan mendapatkan 1 porsi yang sudah diseduh dalam gelas, terdapat berbagai macam rempah dan dedaunan, antara lain potongan jahe gepuk yang dibakar, serutan kayu manis, serutan kayu cengkeh, daun cengkeh, daun pala, secang, dan gula batu yang diseduh dengan air mendidih.

Wedang Uwuh Siap Minum
Wedang Uwuh Siap Minum

Warna air yang merah cerah terbentuk dari air seduhan secang. Bau harum muncul dari aroma kayu manis. Rasa hangat-pedas terbentuk dari jahe dan dedaunan rempah lainnya.

Konon minuman ini dipercayaberkhasiat dan mampu menjaga kesehatan badan.

Waktu yang pas untuk menikmati wedang ini tentu saja ketika cuaca dingin. Bisa juga menikmati wedang ini setelah lelah berolah raga di seputaran Pajimatan Imogiri.

Ya, suasana Pajimatan Imogiri di Minggu pagi memang ndak jauh beda dengan Bunderan UGM yang selalu ramai dengan orang-orang yang hendak berolah raga atau sekedar berwisata bersama keluarga.

Uniknya lagi, semua bahan pembuat wedang ini tersedia di kawasan ini. Pohon Pala, pohon Cengkeh, pohon Secang, Kayu Manis semua ada di kawasan berbukit yang rindang ini.

Berkunjung ke Makam Imogiri tentu menjadi kurang lengkap bila belum mencoba Wedang Uwuh.

Maju terus tanah kelahiranku…

Perjalanan Panjang (Banjarmasin – Surabaya – Jogja) PART- 3 (Habis)

Setelah tertahan selama 1 jam lebih karena terhalang truk yang belum bisa keluar, akhirnya pkl 21.30 saya bisa keluar dari lambung kapal Kumala. Kondisi air yang pasang menyebabkan posisi kapal agak naik ke atas sehingga jalan keluar menjadi sangat curam dan itu berbahaya untuk truk-2 dengan body besar dan panjang, dan juga muatan yang berlebih. Tapi kemampuan crew Dharma Lautan dan kelihaian sopir-2 itu snagat membantu proses ini. Saya sempat keluar melihat keadaan sambil menunggu selesainya bongkar muat ini. Sementara para penumpang masih ditahan di ruang tunggu pelabuhan. Wah, pasti molor keberangakatn kapal ini ke Banjarmasin. Akhirnya mobil saya berhasil keluar nomor 4 dari deretan truk terakhir.

Saya langsung memacu mobil menuju jalan tol yang rutenya telah saya pahami, dari info seorang petugas Dharma Lautan (Agus namanya) yang saya kenal sewaktu saya menunggu proses keluarnya kendaraan dari dalam kapal. Setelah mengisi bahan bakar saya langsung masuk tol, perjalanan sangat lancar hingga akhirnya saya eluar di pintu tol Waru. Dari Waru saya langsung menuju Mojokerto melewati Krian. Kondisi gerimis menyebabkan saya tidak bisa memacu kendaraan dengan maksimal. Perjalanan sangat lancar, meski saya baru sekali menyusuri jalan itu (sebagai sopir), tapi keberadaan rambu-rambu yang ada sangat membantu dan sangat jelas.

Jam 11 kurang saya sampai di Mojokerto, setelah putar-putar sedikit melihat keadaan malam sambil mencari penginapan, akhirnya saya melewatkan malam di sebuah penginapan di Mojokerto.

Keesokan harinya 13 Des 2008 jam pukul 6.30 saya memulai perjalanan panjang saya dari Mojokerto menuju Jogja.

Lepas dari Mojokerto, perjalanan lancar-lancar saja pagi itu. Saya cukup menikmati perjalanan, meski saya menempuh perjalanan seorang diri, tapi kondisi mobil yang prima serta jalan yang relatif bagus membuat perjalanan ini cukup menyenangkan. Mojokerto menuju Jombang hanya 27 km, cukup dekat. Apalagi nyaris di kiri dan kanan jalan sudah ramai, tidak terputus rawa atau hutan seperti di Kalimantan.

Dari Jombang ke Nganjuk juga hanya sekitar 40 km, jadi tidak terlalu lama waktu tempuhnya. Saking asyiknya menikmati perjalanan, gak terasa perut saya keroncongan. Saya baru sadar kalo saya belum sarapa dari pagi.

Menuju Caruban
Menuju Caruban

Dari Nganjuk menuju Caruban kira-2 berjarak 30 km. Saya sempat menikmati pemandangan hutan jati di daerah Caruban. Kondisi jalan yang padat dan menanjak membuat truk-2 antri untuk menaiki tanjakan. Saya manfaatkan untuk menikmati pemandangan hutan jati yang rindang. Mungkin sangat langka pemandangan hutan di Pulau Jawa. Sampai di Caruban pukul hampir pukul 9, setelah mengisi bensin, saya langsung tancap menuju NGawi yang berjarak sekitar 34 km.

Akhirnya setelah melewati Ngawi, Mantingan, saya memasuki Propinsi Jawa Tengah pukul 10.20 wib. Tepatnya di kota Sragen. Saya sempatkan makan tongseng di Sragen. Saya memang hobi makan tongseng dan sate kambing. Cuma di Banjarmasin selain mahal, juga tidak ada sate dan tongseng yang bumbunya sesuai selera saya. Akhirnya saya dapatkan juga tongseng dengan bumbu yang khas tidak seperti di Banjarmasin. Biasanya kalo pas mudik ke Jogja, saya selalu menyempatkan makan sate TIBAN, di jalan Imogiri Barat, tepatnya di daerah Sudimoro. Itu sate langganan saya sejak saya masih SMA dulu.

Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah
Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah

Setelah melewati Sragen dan sebelum masuk Palur, saya ambil jalan by pas agar tidak melewati macetnya kota Solo. Sesampainya di Mojosongo saya berubah pikiran, saya tak ingin melewatkan suasana Solo yang dulu di tahun 2002 pernah saya tinggali meski hanya 6 bulan.

Saya menyusuri dari Arah Pasar GEde menuju Kraton, Pasar Klewer, Jl Dr. Rajiman hingga akhirnya Tipes dan kembali ke Jalan A. Yani. Tempat dimana saya dulu banyak kenangan di daerah Purwosari. Masuk Jl. A. Yani ternyata ada Solo Square, setelah itu ada Carefour (bekas Alfa). Wah, jalanan di kota Solo sungguh berubah. Saya bener-2 tertinggal informasi setelah sekian lama tidak mengunjungi Solo.

Lepas dari Kartosuro, saya tidak lagi menyia-nyiakan waktu untuk segera memacu mobil menuju Jogja. Delanggu, Klaten, Prambanan dan akhirnya tepat jam 14.30 saya sampai di rumah saya, di kota tercinta Imogiri. Saya melihat angka di pengukur jarak menunjukkan angka 402,4 km. Artinya dari Surabaya menuju Jogja (tepatnya rumah saya) saya telah memepuh perjalanan sepanjang 402,4 km. Kira-2 jaraknya sama dengan Banjarmasin – Sampit. Jarak yang biasa saya lahap kalo pas Up Country. Cuma bedanya, jalan dari Palangkaraya menuju Sampit tidak cukup bagus.

Pada tulisan berikutnya, saya akan mengajak rekan-rekan menyusuri Imogiri (tepatnya makam raja-raja Mataram) dengan minuman khasnya yaitu WEDANG UWUH.