Tag Archives: sriharjo

Indahnya Jembatan Gantung Imogiri

Seperti halnya makanan, Jogja selalu diidentikkan dengan gudeg, bakmi jawa dan bakpia. Padahal masih banyak lagi makanan lezat nan menggoda selera yang berasal dari Jogja.

Pun demikian untuk urusan wisata, terlalu mainstream jika hanya mengenal Malioboro, Keraton, Candi Prambanan, Taman Sari atau Kaliurang. Masih banyak spot baru yang cukup asyik untuk dikunjungi.

Salah satu tempat yang cantik, unik dan layak dikunjungi adalah Jembatan Gantung Selopamioro, Imogiri. Dibangun sejak tahun 2004, jembatan gantung ini menghubungkan 2 desa di Kecamatan Imogiri, Kab Bantul, DIY, yakni antara Desa Sriharjo dan Desa Selopamioro di ujung lainnya. Jembatan gantung yang melintang di atas Sungai Oya ini makin cantik diapit perbukitan nan hijau.

Selain cantik tentu jembatan ini dibangun memang karena masyarakat di dua desa tersebut memerlukannya sebagai jalur transportasi demi kelancaran roda perekonomian dan pendidikan.

Panjang jembatan sekitar 70 meter dengan lebar tak lebih dari 2 meter saja sehingga praktis hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, sepeda atau sepeda motor.

Jembatan Gantung Selopamioro 3x
Kemarau, air sungai surut, bukit sedikit gersang

 

Jembatan Gantung Selopamioro berada di daerah perbukitan karts. Jika anda pecinta fotografi, maka tempat ini merupakan spot yang sangat bagus. Pemandangan di sekeliling jembatan sangatlah indah. Saat siang hari, bukit yang menghijau dengan jembatan berwarna kuning, seolah berpadu indah dengan hijaunya langit. Saat sore haripun tak kalah cantiknya, sinar matahari yang kekuningan membuat suasana sangat damai.

Banyak yang menggukan jembatan ini sebagai latar belakang iklan beberapa produk seperti telekomunikasi, hotel. Bahkan syuting FTV pun sering dilakukan di tempat ini. Oleh karena view yang indah inilah banyak masyarakat yang memanfaatkannya sebagai lokasi foto prewed.

Salah satu iklan Santika Hotel (santika.com)
Salah satu iklan Santika Hotel (santika.com)
santika 2
Versi iklannya, keren kan

 

Jika anda dari Kota Jogja, cari saja jalur menuju Imogiri. Dari Imogiri ambil jalan menuju Siluk atau Panggang (Gunung Kidul), kira-kira 4 km dari Imogiri anda akan ketemu SMPN 2 Imogiri. Langsung ambil belok kiri jalan aspal menuju Dusun Kedungmiri. Lurus aja ikuti jalan beraspal itu. Jarak dari SMP 2 Imogiri ke jembatan gantung sekitar 5 km melewati beberapa dusun seperti Ketos, Ngrancah, Sompok, Pengkol dan Kedungmiri. (Hafal soalnya waktu kecil sering ke situ hehe)

Jalan menuju ke lokasi sudah beraspal. Sesaat mau sampai ke jembatan maka akan terlihat pemandangan hijau di kiri dan kanan jalan. Jika saat musim tanam tembakau, maka akan terlihat tanaman tembakau menghampar. Pun demikian dengan tanaman lainnya, misalnya jagung. Pokoknya suasana desa dan pertanian akan kental anda rasakan.

Penasaran ? Catat dalam itinerary kunjungan anda ke Jogja selanjutnya. Siapkan kamera anda. Maaf saya bukan fotografer, jika ditangan fotografer pasti fotonya akan jauh lebih cantik 🙂

Sering jadi lokasi syuting
Sering jadi lokasi syuting
Kedung Miri
Saat tanam tembakau
Kedungmiri1
Ladang dan perbukitan

3 hari (plus) di Jogja …

Setiap pulang ke Jogja selalu ada sesuatu yang baru. Meski kepulangan saya kali ini sedikit mendadak dan dalam suasana yang kurang menyenangkan karena nenek sakit, tapi semangat itu tetap ada.

Pesawat Lion Air JT521 membawa Saya Jumat pagi, 4 Nopember 2011 menuju Jogja. Jogja yang masih pagi. Jalan Imogiri Timur terasa maskin sempit dan sesak pagi itu. Jalanan penuh dengan kendaraan roda 2 para pelaju dari Bantul yang berangkat kerja mencari nafkah di Kota Jogja. Hmm… persis ketika dulu 10 – 15 tahun lalu, bedanya kalau dulu penuh dengan sepeda ontel, sekarang sepeda motor. Sepeda ontel saat ini sudah mulai tergusur oleh sepeda motor yang dinilai lebih cepat dan efisien.

RS Panembahan Senopati terakhir kali saya datengin saat Gempa Jogja 2006. Saat itu suasana rumah sakit hiruk pikuk  dan penuh dengan korban gempa. #merinding.  Akhirnya ketemu juga dengan Simbah yang tergolek di Nusa Indah 8. Simbah yang yuswonya sudah sepuh (90 th) tp sebetulnya masih sangat sehat untuk ukuran seusianya.  Kondisinya berangsur normal setelah menjalani operasi tulang retak. Semoga lekas sembuh mbah…

Tiga hari di Jogja  dan lebih banyak menghabiskan waktu di RS Panembahan Senopati menunggui Mbah Warto yang opname. Sempat berkeliling Imogir – Bantul dengan sepeda motor Honda Supra tua.  Bantul pasca gempa memang mangling, saking panglingnya sempet bebrapa kali kesasar salah belok di jantung Kota Bantul. Maklum, sangat berbeda dengan 15 tahun lalu saat saya masih sering melewati jalan2 itu.

Sempet jepret sana-jepret sini, tapi karena yang saya jepret adalah sebuah peluang usaha, so gak usah dibahas hehe.

Simbok dengan sepeda tuanya ...
Bapak dan ayam2nya ...

Simbok masih setia dengan sepeda tuanya, Bapak masih meluangkan waktu paginya untuk ngurusin ayam2nya. Suasana yang bikin ingatanku kembali ke masa kecil.

Bersepeda di pagi hari keliling kampung sambil menghirup udara desa yang masih cukup segar serta hijaunya sawah kidul desaku tak ubahnya menjadi obat mujarab  bagi nafas dan mataku ini. Segar sekali rasanya. Sambil terus menggenjot sepeda tua Simbokku, sesekali aku harus menjawab teguran dari tetangga dan kawan lama yang ketemu di jalan.

Sawah Kidul nDeso ... nyaman dipandang

Minggu malam 6 Nopember 2011 akhirnya saya harus kembali ke Banjarmasin. Kejadian yang  sangat menjengkelkan malam itu adalah dicancelnya JT520 menuju Banjarmasin karena lampu landasan padam. Beberapa penerbangan dari Jogja semua mengalami pembatalan, sedangkan pesawat yang akan landing di Adisucipto beberapa diantaranya dialihkan ke Solo dan Surabaya. Suasana yang sangat kacau. Menginap di Quality Hotel juga bukan sebuah keputusan terbaik karena pagi2 besok harus ke Bandara lagi.

Setelah terlelap beberapa jam, akhirnya kami harus kembali berdesakan di bus untuk  menuju bandara ditengah hujan lebat. Kejengkelan belum berakhir, ternyata pesawat kembali ditunda karena cuaca buruk. Akhirnya setelah “disuap” nasi ayam kotakan, kami diterbangkan menuju Banjarmasin pkl 11.00 WIB.

Selamat datang kembali di Banjarmasin, setelah “terpaksa” tambah 1 hari di Jogja.

Nikmati Bersama Suasana Jogja….

Kira-kira begitu bunyi sepenggal lirik lagu Yogyakarta yang dipopulerkan oleh KLA Project pada awal 90-an. Lagu yang hingga sekarang tidak pernahbasi, tidak kuno apalagi termakan jaman. Ya.. Jogja begitu “ngangeni” buat siapa saja yang pernah bersinggungan dengan kota ini.

Pertengahan Mei lalu Saya kembali menginjakkan kaki di Jogja, tanah kelahiran Saya. Kepulangan Saya waktu itu cukup istimewa, pertama kalinya Saya mengajak semua keluarga (termasuk Sasa, buah hati kami yang baru 2,5 tahun). Ini juga merupakan pertama kalinya Sasa menginjakkan kaki dan menghirup nafas di Tanah Jawa. Semua begitu istimewa, hingga waktu 1 Minggu terasa begitu singkat dan terasa sangat kurang. Jogja masih tetap seperti dulu, begitu eksotis dengan ragam kehidupannya. Denyut nadi kota ini di musim liburan bagaikan menjadi magnet bagi pelancong dari seluruh antero Nusantara bahka mancanegara. Meski tidak banyak tempat yang bisa saya kunjungi karena terbatasnya waktu, tapi paling tidak semua jalan-jalan di Kota Jogja dan sekitarnya sudah cukup membangkitkan kembali nostalgia kami.

Tak lupa kami “medang” (nyruput wedang uwuh) dan makan pecel kembang turi di Kawasan Makan Raja-raja Imogiri pada pagi hari, sungguh luar biasa. Selain murah tentunya, suasana alam yang sejuk membuat nasi pecel semakin nikmat. Angetnya jahe wedang uwuh juga begitu menyegarkan. Perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Beringharjo. Perjalanan dari Imogiri ke Jogja tidaklah jauh. Sengaja saya ambil jalan memutar dengan tujuan melewati jl. Mangkubumi. Lepas Jembatan Gondolayu ke arah Barat, maka nampaklah bangunan monumental itu. Ya, Tugu Jogja. Serasa tak langkap berkunjung ke Kota Jogja tanpa mengunjungi obyek yang satu ini. Tugu ini seolah menjadi sentral kota ini. Pemandangan unik dan nyeleneh selalu identik dengan kota ini. Siang itu seorang waitress restoran cepat saji ala Italia sedang ngomel, berpromosi mencari perhatian tepat di bawah tugu. Ono-ono wae… Tugu tidak banyak berubah, hanya dibagian sekelilingnya agak naik sedikit untuk membatasi dengan jalan. Andai letak bangunan monumental ini tidak persis di tengah kota, Saya yakin tiap saat akan ada yang berfoto atau mengunjungi tugu ini. Letak tugu yang persis di tengah perempatan jalan menyebabkan akses yang susah. Biasanya saat malam hari, itu pun setelah pkl 22.00 wib baru sedikit lengang untuk bisa berfoto di bawah tugu ini. Yahh… tapi bagi saya, melihat sambil lewat di sebelahnya sudah cukup untuk mengobati kerinduan saya.

Tidak sampai 15 menit dari tugu, kami sampai di Pasar Beringharjo. Pasar yang legendaris ini tetap saja ramai, bahkan terasa makin sesak dengan kedatangan kami. Sengaja kami langsung menuju bagian Barat dimana di situ merupakan sentranya pedagang kain batik. Beberapa potong baju, kaos dan tas batik untuk sekedar buah tangan kami beli. Meski sudut-sudut pasar berubah, tapi aura nya masih sama dengan 15 atau 20 tahun lalu.

Kota Gudeg adalah sebutan lain untuk kota ini, selain kota pelajar, dan banyak lagi sebutan lainnya.  Kurang afdhol kalo tidak mencicipi makanan berbahan nangka ini. Daerah Wijilan adalah pusat penjual makanan yang satu ini. Meski di seantero Jogja kita akan sangat mudah menemukannya. Sama seperti bakpia, banyak penjual, banyak merek tinggal pilih. Kami menuju sebuah warung yang sudah menjadi trade mark nya gudeg di Jogja. Hmmm… rasanya tak berubah, pun dengan ibu tua yang masih saja setia melayani pembelinya. Betul kata Katon… ada setangkup haru dalam rindu, masih seperti dulu…

Rumah kami di kawasan Imogiri, Bantul merupakan pertengahan antara Jogja dan Pantai Parangtritis. Dulu setiap sore saya sering ke Parangtritis atau Makam Raja-raja Imogiri. Sore itu saya mengajak istri dan anak saya mengunjungi Pantai Parangtritis, kata orang pantai sakral dan penuh mistis. Sedikit kemalaman kami sampai di pantai yang ada di bagian Selatan Kabupaten Bantul ini. Tak apa lah, yang penting masih bisa menikmati angin sore, ombak pantai dan hamparan pasir lembut sepanjang pantai.

Dengan kendaraan plat AB-B, yang pastinya dari Bantul, saya sedikit nakal. Dulu kalau ingin masuk tanpa bayar melewati pos retribusi, resep jitu adalah dengan “mengedim” (menyalakan lampu) memberi tanda ke petugas penjaga. Konon tanda itu merupakan “kode” yang menyatakan bahwa kita berasal dari sekitar itu. Hehehe…. ono-ono wae. Memang kawasan pantai Parangtritis merupakan kawasan pemukiman penduduk juga.Ternyata anakku begitu senang bercanda dengan ombak, bahkan gak mau diajak pulang hingga larut malam. Angin yang makin kencang lah yang akhirnya memaksa kami untuk meninggalkan kawasan pantai selatan itu.

Aku dan Sasa
Bercanda dengan ombak

Kalo Sudah Kehendak-Nya…. (Maka Terjadilah)

Beberapa hari yang lalu saya mendapat SMS dari adik saya yang tinggal di Yogya. Dia memberi kabar bahwa ada tetangga saya yang meninggal dunia. Sebetulnya tidak ada yang istimewa dengan kejadian ini, toh semua pasti akan dipanggil juga. Yang menjadi pikiran saya adalah, bahwa yang meninggal tsb adalah Mbah nDermo (perempuan) namanya, sudah sepuh dan sudah lama sakit bahkan tidak bisa jalan. Ingatan saya menerawang kejadian hampir 3 tahun yang lalu pada saat Gempa Yogya meluluhlantahkan desa kami, di Mojohuro, Sriharjo,kira-kira 17 km di sebelah Selatan Kota Yogya. Pada saat ini saya “diberi kesempatan” untuk menyaksikan dan mengalami sebuah kejadian yang bahkan mungkin menjadi ‘trauma’ bagi banyak orang di Bantul dan sekitarnya. Ya, 27 Mei 2006 sekitar pkl 6 pagi, gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang Bantul dan sekitarnya.

Kejadian tersebut berlangsung sangat cepat, ketika itu saya sedang buang air besar di kamar mandi. Begitu terdengan suara ‘kemrosak’ disertai ambruknya dinding kamar mandi saya, seketika itu juga saya meloncat menerobos dinding yang miring dan lari keluar. Saat itu maaf, saya masih belum membasuh bekas BAB saya.

Begitu cepat dan keras goncangan gempa yang terjadi. Ternyata di luar rumah sudah ada Bapak (yang memang pada saat kejadian itu sudah berada di luar rumah) dan Simbok yang baru saja tergopoh-gopoh lari dari dapur. Ketika itu beliau sedang melakukan rutinitas pagi di dapur, menyiapkan sarapan buat kami semua.

Kami bertiga berteriak-teriah menyebut Asma Allah, berselang seling dengan memanggil nama adik saya yang ternyata belum keluar dari rumah. Sementara sebagian besar genteng rumah kami melorot semua, beberapa bagian rumah miring dan temboknya hampir roboh. Setelah gempa berhenti, Alhamdulillah adik saya keluar dengan keadaan selamat tanpa kurang suatu apapun, meski dengan rambut dan bagian tubuh yang lain penuh debu akibat menerobos reruntuhan bangunan rumah.

Setelah memastikan semua anggota keluarga kami lengkap, saya dan Bapak segera ke tetangga sebelah yang ternyata keadaannya lebih parah. Sebagian besar rumah rubuh, rata dengan tanah. Pada saat itulah saya mempunya memori dengan Mbah nDermo yang saya ceritakan di atas.

Subhanallah… orang tua, tidak bisa berjalan krn sakit, masih selamat dan tidak terlukan sedikitpun di dalam rumah yang digoncang gempa hebat. Hebatnya, rumah konstruksi kayu (jaman dulu) itu memang justri tahan gempa, tidak mengalami kerusakan parah seperti rumah batu-bata (tanpa tulang) yang kebanyakan rohoh.

Saya bersama tetangga lain (Lik Jumakir) menggotong beliau ke tempat yang lebih aman untuk menghindari gempa susulan. Setelah itu saya tidak terlalu tahu perkembangan kesehatan beliau, namun pada akhirnya beberapa hari yg lalu beliau di panggil oleh-Nya.

Innalillahi wainnailaihiirojiun…

Gallery (Cuma pake Kamera Handphone)

Rata dengan tanah (rumah tetangga)
Rata dengan tanah (rumah tetangga)
Pakdhe Dalmadi, malam setelah gempa langsung datang dari Bogor. Didepan rumah Mbah Warto
Pakdhe Dalmadi, malam setelah gempa langsung datang dari Bogor. Didepan rumah Mbah Warto
4 jam setelah gempa,pengungsi di Lapangan Sriharjo
4 jam setelah gempa,pengungsi di Lapangan Sriharjo

Perjalanan Panjang (Banjarmasin – Surabaya – Jogja) PART- 3 (Habis)

Setelah tertahan selama 1 jam lebih karena terhalang truk yang belum bisa keluar, akhirnya pkl 21.30 saya bisa keluar dari lambung kapal Kumala. Kondisi air yang pasang menyebabkan posisi kapal agak naik ke atas sehingga jalan keluar menjadi sangat curam dan itu berbahaya untuk truk-2 dengan body besar dan panjang, dan juga muatan yang berlebih. Tapi kemampuan crew Dharma Lautan dan kelihaian sopir-2 itu snagat membantu proses ini. Saya sempat keluar melihat keadaan sambil menunggu selesainya bongkar muat ini. Sementara para penumpang masih ditahan di ruang tunggu pelabuhan. Wah, pasti molor keberangakatn kapal ini ke Banjarmasin. Akhirnya mobil saya berhasil keluar nomor 4 dari deretan truk terakhir.

Saya langsung memacu mobil menuju jalan tol yang rutenya telah saya pahami, dari info seorang petugas Dharma Lautan (Agus namanya) yang saya kenal sewaktu saya menunggu proses keluarnya kendaraan dari dalam kapal. Setelah mengisi bahan bakar saya langsung masuk tol, perjalanan sangat lancar hingga akhirnya saya eluar di pintu tol Waru. Dari Waru saya langsung menuju Mojokerto melewati Krian. Kondisi gerimis menyebabkan saya tidak bisa memacu kendaraan dengan maksimal. Perjalanan sangat lancar, meski saya baru sekali menyusuri jalan itu (sebagai sopir), tapi keberadaan rambu-rambu yang ada sangat membantu dan sangat jelas.

Jam 11 kurang saya sampai di Mojokerto, setelah putar-putar sedikit melihat keadaan malam sambil mencari penginapan, akhirnya saya melewatkan malam di sebuah penginapan di Mojokerto.

Keesokan harinya 13 Des 2008 jam pukul 6.30 saya memulai perjalanan panjang saya dari Mojokerto menuju Jogja.

Lepas dari Mojokerto, perjalanan lancar-lancar saja pagi itu. Saya cukup menikmati perjalanan, meski saya menempuh perjalanan seorang diri, tapi kondisi mobil yang prima serta jalan yang relatif bagus membuat perjalanan ini cukup menyenangkan. Mojokerto menuju Jombang hanya 27 km, cukup dekat. Apalagi nyaris di kiri dan kanan jalan sudah ramai, tidak terputus rawa atau hutan seperti di Kalimantan.

Dari Jombang ke Nganjuk juga hanya sekitar 40 km, jadi tidak terlalu lama waktu tempuhnya. Saking asyiknya menikmati perjalanan, gak terasa perut saya keroncongan. Saya baru sadar kalo saya belum sarapa dari pagi.

Menuju Caruban
Menuju Caruban

Dari Nganjuk menuju Caruban kira-2 berjarak 30 km. Saya sempat menikmati pemandangan hutan jati di daerah Caruban. Kondisi jalan yang padat dan menanjak membuat truk-2 antri untuk menaiki tanjakan. Saya manfaatkan untuk menikmati pemandangan hutan jati yang rindang. Mungkin sangat langka pemandangan hutan di Pulau Jawa. Sampai di Caruban pukul hampir pukul 9, setelah mengisi bensin, saya langsung tancap menuju NGawi yang berjarak sekitar 34 km.

Akhirnya setelah melewati Ngawi, Mantingan, saya memasuki Propinsi Jawa Tengah pukul 10.20 wib. Tepatnya di kota Sragen. Saya sempatkan makan tongseng di Sragen. Saya memang hobi makan tongseng dan sate kambing. Cuma di Banjarmasin selain mahal, juga tidak ada sate dan tongseng yang bumbunya sesuai selera saya. Akhirnya saya dapatkan juga tongseng dengan bumbu yang khas tidak seperti di Banjarmasin. Biasanya kalo pas mudik ke Jogja, saya selalu menyempatkan makan sate TIBAN, di jalan Imogiri Barat, tepatnya di daerah Sudimoro. Itu sate langganan saya sejak saya masih SMA dulu.

Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah
Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah

Setelah melewati Sragen dan sebelum masuk Palur, saya ambil jalan by pas agar tidak melewati macetnya kota Solo. Sesampainya di Mojosongo saya berubah pikiran, saya tak ingin melewatkan suasana Solo yang dulu di tahun 2002 pernah saya tinggali meski hanya 6 bulan.

Saya menyusuri dari Arah Pasar GEde menuju Kraton, Pasar Klewer, Jl Dr. Rajiman hingga akhirnya Tipes dan kembali ke Jalan A. Yani. Tempat dimana saya dulu banyak kenangan di daerah Purwosari. Masuk Jl. A. Yani ternyata ada Solo Square, setelah itu ada Carefour (bekas Alfa). Wah, jalanan di kota Solo sungguh berubah. Saya bener-2 tertinggal informasi setelah sekian lama tidak mengunjungi Solo.

Lepas dari Kartosuro, saya tidak lagi menyia-nyiakan waktu untuk segera memacu mobil menuju Jogja. Delanggu, Klaten, Prambanan dan akhirnya tepat jam 14.30 saya sampai di rumah saya, di kota tercinta Imogiri. Saya melihat angka di pengukur jarak menunjukkan angka 402,4 km. Artinya dari Surabaya menuju Jogja (tepatnya rumah saya) saya telah memepuh perjalanan sepanjang 402,4 km. Kira-2 jaraknya sama dengan Banjarmasin – Sampit. Jarak yang biasa saya lahap kalo pas Up Country. Cuma bedanya, jalan dari Palangkaraya menuju Sampit tidak cukup bagus.

Pada tulisan berikutnya, saya akan mengajak rekan-rekan menyusuri Imogiri (tepatnya makam raja-raja Mataram) dengan minuman khasnya yaitu WEDANG UWUH.