Tag Archives: haryanto

Nikmati Bersama Suasana Jogja….

Kira-kira begitu bunyi sepenggal lirik lagu Yogyakarta yang dipopulerkan oleh KLA Project pada awal 90-an. Lagu yang hingga sekarang tidak pernahbasi, tidak kuno apalagi termakan jaman. Ya.. Jogja begitu “ngangeni” buat siapa saja yang pernah bersinggungan dengan kota ini.

Pertengahan Mei lalu Saya kembali menginjakkan kaki di Jogja, tanah kelahiran Saya. Kepulangan Saya waktu itu cukup istimewa, pertama kalinya Saya mengajak semua keluarga (termasuk Sasa, buah hati kami yang baru 2,5 tahun). Ini juga merupakan pertama kalinya Sasa menginjakkan kaki dan menghirup nafas di Tanah Jawa. Semua begitu istimewa, hingga waktu 1 Minggu terasa begitu singkat dan terasa sangat kurang. Jogja masih tetap seperti dulu, begitu eksotis dengan ragam kehidupannya. Denyut nadi kota ini di musim liburan bagaikan menjadi magnet bagi pelancong dari seluruh antero Nusantara bahka mancanegara. Meski tidak banyak tempat yang bisa saya kunjungi karena terbatasnya waktu, tapi paling tidak semua jalan-jalan di Kota Jogja dan sekitarnya sudah cukup membangkitkan kembali nostalgia kami.

Tak lupa kami “medang” (nyruput wedang uwuh) dan makan pecel kembang turi di Kawasan Makan Raja-raja Imogiri pada pagi hari, sungguh luar biasa. Selain murah tentunya, suasana alam yang sejuk membuat nasi pecel semakin nikmat. Angetnya jahe wedang uwuh juga begitu menyegarkan. Perjalanan kami lanjutkan ke Pasar Beringharjo. Perjalanan dari Imogiri ke Jogja tidaklah jauh. Sengaja saya ambil jalan memutar dengan tujuan melewati jl. Mangkubumi. Lepas Jembatan Gondolayu ke arah Barat, maka nampaklah bangunan monumental itu. Ya, Tugu Jogja. Serasa tak langkap berkunjung ke Kota Jogja tanpa mengunjungi obyek yang satu ini. Tugu ini seolah menjadi sentral kota ini. Pemandangan unik dan nyeleneh selalu identik dengan kota ini. Siang itu seorang waitress restoran cepat saji ala Italia sedang ngomel, berpromosi mencari perhatian tepat di bawah tugu. Ono-ono wae… Tugu tidak banyak berubah, hanya dibagian sekelilingnya agak naik sedikit untuk membatasi dengan jalan. Andai letak bangunan monumental ini tidak persis di tengah kota, Saya yakin tiap saat akan ada yang berfoto atau mengunjungi tugu ini. Letak tugu yang persis di tengah perempatan jalan menyebabkan akses yang susah. Biasanya saat malam hari, itu pun setelah pkl 22.00 wib baru sedikit lengang untuk bisa berfoto di bawah tugu ini. Yahh… tapi bagi saya, melihat sambil lewat di sebelahnya sudah cukup untuk mengobati kerinduan saya.

Tidak sampai 15 menit dari tugu, kami sampai di Pasar Beringharjo. Pasar yang legendaris ini tetap saja ramai, bahkan terasa makin sesak dengan kedatangan kami. Sengaja kami langsung menuju bagian Barat dimana di situ merupakan sentranya pedagang kain batik. Beberapa potong baju, kaos dan tas batik untuk sekedar buah tangan kami beli. Meski sudut-sudut pasar berubah, tapi aura nya masih sama dengan 15 atau 20 tahun lalu.

Kota Gudeg adalah sebutan lain untuk kota ini, selain kota pelajar, dan banyak lagi sebutan lainnya.  Kurang afdhol kalo tidak mencicipi makanan berbahan nangka ini. Daerah Wijilan adalah pusat penjual makanan yang satu ini. Meski di seantero Jogja kita akan sangat mudah menemukannya. Sama seperti bakpia, banyak penjual, banyak merek tinggal pilih. Kami menuju sebuah warung yang sudah menjadi trade mark nya gudeg di Jogja. Hmmm… rasanya tak berubah, pun dengan ibu tua yang masih saja setia melayani pembelinya. Betul kata Katon… ada setangkup haru dalam rindu, masih seperti dulu…

Rumah kami di kawasan Imogiri, Bantul merupakan pertengahan antara Jogja dan Pantai Parangtritis. Dulu setiap sore saya sering ke Parangtritis atau Makam Raja-raja Imogiri. Sore itu saya mengajak istri dan anak saya mengunjungi Pantai Parangtritis, kata orang pantai sakral dan penuh mistis. Sedikit kemalaman kami sampai di pantai yang ada di bagian Selatan Kabupaten Bantul ini. Tak apa lah, yang penting masih bisa menikmati angin sore, ombak pantai dan hamparan pasir lembut sepanjang pantai.

Dengan kendaraan plat AB-B, yang pastinya dari Bantul, saya sedikit nakal. Dulu kalau ingin masuk tanpa bayar melewati pos retribusi, resep jitu adalah dengan “mengedim” (menyalakan lampu) memberi tanda ke petugas penjaga. Konon tanda itu merupakan “kode” yang menyatakan bahwa kita berasal dari sekitar itu. Hehehe…. ono-ono wae. Memang kawasan pantai Parangtritis merupakan kawasan pemukiman penduduk juga.Ternyata anakku begitu senang bercanda dengan ombak, bahkan gak mau diajak pulang hingga larut malam. Angin yang makin kencang lah yang akhirnya memaksa kami untuk meninggalkan kawasan pantai selatan itu.

Aku dan Sasa
Bercanda dengan ombak

Nyruput Wedang Uwuh, Pengobat Rindu Kampung Halaman

pc300086a

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman paket dari adik saya yang ada di kampung. Setelah saya buka ternyata berisi minuman kemasan siap seduh. Sebuah jenis minuman yang langsung membawa alam pikiran saya menuju sebuah daerah nun jauh di Jogja sana. Daerah yang merupakan kampung halaman saya, tempat saya menghabiskan masa kecil hingga remaja. Kok melankolis banget ya.

Wedang Uwuh, demikian jenis minuman ini dinamakan. Kenapa namanya Wedang Uwuh dan apa istimewanya ?

Kata “uwuh” berasal dari Bahasa Jawa, yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia adalah sampah dedaunan. Dalam perkembangannya, kata “uwuh” juga bermakna sampah secara umum, sehingga mengesankan kotor dan becek.

Nama Wedang Uwuh justru mengundang orang untuk datang, karena kesegaran dan khasiat yang ada. Kata “wedang” juga berasal dari Bahasa Jawa yang artinya adalah minuman. Sehingga Wedang Uwuh adalah minuman yang bahan bakunya dedaunan.

Bahan bakunya rempah khas Indonesia, yaitu daun dan ranting cengkeh, daun pala, daun manis jangan, kayu secang, jahe, ditambah gula batu. Macam-macam rempah itu diseduh dengan air mendidih, kemudian diseruput sedikit demi sedikit. Selain menyegarkan, minuman ini juga dipercaya bisa menghilangkan macam-macam penyakit seperti batuk, capek, masuk angin, pegal, dan kembung. Betul tidaknya anda harus membuktikannya.

Wedang Uwuh merupakan minuman khas Imogiri, sebuah kota kecil terletak di bagian Timur Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya kira-kira 17 km arah Selatan Kota Jogja. Daerah ini sudah tidak asing karena juga merupakan salah satu icon pariwisata Jogja, yaitu tempat Makam Raja-raja Kasultanan Yogya dan Kasunanan Surakarta.

Jika anda berkunjung ke Jogja, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk “nyruput” Wedang Uwuh di tempat asalnya. Untuk mencapai Imogiri tidaklah sulit, sarana transportasi sangat mendukung. Anda bisa mengendarai sepeda motor, mobil atau bahkan memakai jasa angkutan umum.

Kemasan keringDari Terminal Giwangan, ambil arah Selatan melewati depan Markas Brimob. Memasuki Jalan Imogiri, anda akan melewati deretan warung sate kambing, jumlahnya mencapai puluhan. Memang Jalan Imogiri merupakan surga bagi pencinta sate kambing. Setelah mentok di Kantor Kecamatan Imogiri, ambil arah kiri, melewati pasar,mapolsek hingga akhirnya mentok di Komplek Makam Raja-Raja di Pajimatan. Jika anda berkendara mobil, anda bisa memarkir kendaraan di tempat parkir yang cukup luas di situ. Jika anda pengin segera menikmati Wedang Uwuh, anda bisa langsung menuju warung-warung yang ada di sekitar tempat parkir (aslinya terminal, tapi kalo Hari Minggu digunakan buat tempat parkir bagi orang-2 yang ingin berolah raga di kawasan itu). Ada berderet warung disitu yang juga menyediakan makanan khas lainnya seperti pecel. Hari Minggu pagi adalah saat yang tepat untuk ke Imogiri, tapi tidak harus sih, hari apapun bisa. Untuk segelas Wedang Uwuh, anda cukup merogoh kocek Rp. 1.500,-saja, sangat murah bukan ?

Jika Anda merasa kurang, atau pengin menikmati minuman itu di rumah, atau mau buat oleh-oleh teman atau keluarga yang lain, anda bisa membeli minuman tersebut dalam kemasan kering (belum diseduh). Minuman ini dikemas dalam bungkus plastik, disana sudah ada petunjuk penyajiannya yang sangat mudah untuk dimengerti. Harga wedang uwuh kemasan Rp. 1.000,- / bungkus, kalo beli Rp. 10.000,- biasanya dikasih 11 bungkus.

Setelah diseduh
Setelah diseduh

Rasanya sudah panjang lebar saya bercerita. Kini saatnya “nyruput” Wedang Uwuh yang sudah diseduh oleh isteri saya. Hmm…. Rindu saya akan kampung halaman sedikit terobati. Ternyata saya sudah lama tidak pulang……

Si “Prengil” dah Bisa Jalan Sendiri

Lagi seneng-senengnya jalan
Lagi seneng-senengnya jalan

Alhamdulillah, hari ini tepat anak kami berusia 14 bulan. Perkembangan fisik dan motoriknya sangat menggembirakan, sekali lagi tak ada kata yang pantas kami ucapkan kecuali puji syukur ke hadirat-Nya. Tepatnya 20 Nopember 2007 lalu anak kami Raissa Putri Malika lahir.

Tak ada yang istimewa selain mulai beberapa hari ini dia sudah berani berjalan bahkan berlari. Biasanya Si Prengil baru berani melangkah jika ada pegangan. Biasa dia selalu berpegangan meja di ruang tamu, sambil berjalan mengitarinya.Tapi sejak 2 hari yang lalu di berani melangkah sendiri, tanpa berpegangan apapun. Bahkan sesekali dia berlari di ruang tamu. Unuk3x brus, begitu seterusnya. Saya pikir, semakin sering jatuh, maka semakin cepet dia bisa berjalan. Lucu banget pokoknya.

Mudah-mudahan kesehatan selalu dilimpahkan kepada kami sekeluarga. Amien.

🙂 Salam,

Perjalanan Panjang (Banjarmasin – Surabaya – Jogja) PART- 3 (Habis)

Setelah tertahan selama 1 jam lebih karena terhalang truk yang belum bisa keluar, akhirnya pkl 21.30 saya bisa keluar dari lambung kapal Kumala. Kondisi air yang pasang menyebabkan posisi kapal agak naik ke atas sehingga jalan keluar menjadi sangat curam dan itu berbahaya untuk truk-2 dengan body besar dan panjang, dan juga muatan yang berlebih. Tapi kemampuan crew Dharma Lautan dan kelihaian sopir-2 itu snagat membantu proses ini. Saya sempat keluar melihat keadaan sambil menunggu selesainya bongkar muat ini. Sementara para penumpang masih ditahan di ruang tunggu pelabuhan. Wah, pasti molor keberangakatn kapal ini ke Banjarmasin. Akhirnya mobil saya berhasil keluar nomor 4 dari deretan truk terakhir.

Saya langsung memacu mobil menuju jalan tol yang rutenya telah saya pahami, dari info seorang petugas Dharma Lautan (Agus namanya) yang saya kenal sewaktu saya menunggu proses keluarnya kendaraan dari dalam kapal. Setelah mengisi bahan bakar saya langsung masuk tol, perjalanan sangat lancar hingga akhirnya saya eluar di pintu tol Waru. Dari Waru saya langsung menuju Mojokerto melewati Krian. Kondisi gerimis menyebabkan saya tidak bisa memacu kendaraan dengan maksimal. Perjalanan sangat lancar, meski saya baru sekali menyusuri jalan itu (sebagai sopir), tapi keberadaan rambu-rambu yang ada sangat membantu dan sangat jelas.

Jam 11 kurang saya sampai di Mojokerto, setelah putar-putar sedikit melihat keadaan malam sambil mencari penginapan, akhirnya saya melewatkan malam di sebuah penginapan di Mojokerto.

Keesokan harinya 13 Des 2008 jam pukul 6.30 saya memulai perjalanan panjang saya dari Mojokerto menuju Jogja.

Lepas dari Mojokerto, perjalanan lancar-lancar saja pagi itu. Saya cukup menikmati perjalanan, meski saya menempuh perjalanan seorang diri, tapi kondisi mobil yang prima serta jalan yang relatif bagus membuat perjalanan ini cukup menyenangkan. Mojokerto menuju Jombang hanya 27 km, cukup dekat. Apalagi nyaris di kiri dan kanan jalan sudah ramai, tidak terputus rawa atau hutan seperti di Kalimantan.

Dari Jombang ke Nganjuk juga hanya sekitar 40 km, jadi tidak terlalu lama waktu tempuhnya. Saking asyiknya menikmati perjalanan, gak terasa perut saya keroncongan. Saya baru sadar kalo saya belum sarapa dari pagi.

Menuju Caruban
Menuju Caruban

Dari Nganjuk menuju Caruban kira-2 berjarak 30 km. Saya sempat menikmati pemandangan hutan jati di daerah Caruban. Kondisi jalan yang padat dan menanjak membuat truk-2 antri untuk menaiki tanjakan. Saya manfaatkan untuk menikmati pemandangan hutan jati yang rindang. Mungkin sangat langka pemandangan hutan di Pulau Jawa. Sampai di Caruban pukul hampir pukul 9, setelah mengisi bensin, saya langsung tancap menuju NGawi yang berjarak sekitar 34 km.

Akhirnya setelah melewati Ngawi, Mantingan, saya memasuki Propinsi Jawa Tengah pukul 10.20 wib. Tepatnya di kota Sragen. Saya sempatkan makan tongseng di Sragen. Saya memang hobi makan tongseng dan sate kambing. Cuma di Banjarmasin selain mahal, juga tidak ada sate dan tongseng yang bumbunya sesuai selera saya. Akhirnya saya dapatkan juga tongseng dengan bumbu yang khas tidak seperti di Banjarmasin. Biasanya kalo pas mudik ke Jogja, saya selalu menyempatkan makan sate TIBAN, di jalan Imogiri Barat, tepatnya di daerah Sudimoro. Itu sate langganan saya sejak saya masih SMA dulu.

Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah
Selamat Tinggal Jawa Timur, Selamat Datang di Jawa Tengah

Setelah melewati Sragen dan sebelum masuk Palur, saya ambil jalan by pas agar tidak melewati macetnya kota Solo. Sesampainya di Mojosongo saya berubah pikiran, saya tak ingin melewatkan suasana Solo yang dulu di tahun 2002 pernah saya tinggali meski hanya 6 bulan.

Saya menyusuri dari Arah Pasar GEde menuju Kraton, Pasar Klewer, Jl Dr. Rajiman hingga akhirnya Tipes dan kembali ke Jalan A. Yani. Tempat dimana saya dulu banyak kenangan di daerah Purwosari. Masuk Jl. A. Yani ternyata ada Solo Square, setelah itu ada Carefour (bekas Alfa). Wah, jalanan di kota Solo sungguh berubah. Saya bener-2 tertinggal informasi setelah sekian lama tidak mengunjungi Solo.

Lepas dari Kartosuro, saya tidak lagi menyia-nyiakan waktu untuk segera memacu mobil menuju Jogja. Delanggu, Klaten, Prambanan dan akhirnya tepat jam 14.30 saya sampai di rumah saya, di kota tercinta Imogiri. Saya melihat angka di pengukur jarak menunjukkan angka 402,4 km. Artinya dari Surabaya menuju Jogja (tepatnya rumah saya) saya telah memepuh perjalanan sepanjang 402,4 km. Kira-2 jaraknya sama dengan Banjarmasin – Sampit. Jarak yang biasa saya lahap kalo pas Up Country. Cuma bedanya, jalan dari Palangkaraya menuju Sampit tidak cukup bagus.

Pada tulisan berikutnya, saya akan mengajak rekan-rekan menyusuri Imogiri (tepatnya makam raja-raja Mataram) dengan minuman khasnya yaitu WEDANG UWUH.